Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Isu badai pemutusan hubungan kerja atau PHK di sektor industri tekstil tengah menjadi perhatian. Ketua Umum Konfederasi Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Sunarno turut buka suara mengenai isu ini. Menurut dia, PHK adalah bentuk pemiskinan rakyat oleh negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
PHK pada buruh, kata Sunarno, harusnya bisa dihindari dan diminimalisasi. Asalkan, pemerintah hadir memberikan solusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Manakala pemerintah hadir untuk menjawab dan memberikan solusi atas permasalahan-permasalahan hubungan industrial," kata dia dalam keterangan tertulis pada Rabu, 26 Juni 2024.
Sunarno menjelaskan, isu PHK besar-besaran buruh di sektor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) maupun sektor padat karya lainnya memang selalu muncul hampir setiap tahun. Namun, dia menilai hal tersebut tetap saja tak bisa dibenarkan.
Isu PHK pada buruh juga kerap muncul menjelang kenaikan upah setiap akhir tahun, dengan tujuan agar meminimalisasi kenaikan upah buruh. Bisa pula, PHK buruh dilakukan menjelang hari raya untuk menghindari pengeluaran THR.
"PHK kaum buruh di sektor industri TPT tersebut sering kali hanya akal-akalan pengusaha belaka," kata Sunarno.
PHK tersebut bisa bertujuan untuk mendapatkan keringanan pajak, mendapatkan bantuan keuangan dari pemerintah, bahkan karena adanya kebijakan perubahan sistem kerja buruh dari pekerja tetap (PKWTT) menjadi pekerja kontrak (PKWT) outsourcing, harian lepas, borongan dan sistem magang.
"Apalagi saat ini telah diberlakukan UU Omnibus Law, UU Cipta Kerja maupun PP turunannya."
Selain itu, kata Sunarno munculnya isu PHK besar-besaran tersebut juga karena minimnya proteksi pemerintah atas masuknya produk-produk impor TPT. Minimnya proteksi ini tecermin melalui aturan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang kebijakan impor yang membebaskan Angka Pengenal Importir Umum (APIU).
Regulasi tersebut pada akhirnya berakibat pada produk-produk tekstil impor dengan sangat mudah masuk ke Indonesia tanpa pemberlakuan pertimbangan teknis sebagai syarat impor. "Sehingga, pengusaha dalam negeri kalah bersaing."