Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
PLN mengupayakan penundaan jadwal operasional beberapa pembangkit milik swasta.
Surplus setrum mengancam keuangan PLN.
Skema pembelian listrik dan proyek raksasa 35 ribu megawatt jadi biang masalah.
PERUNDINGAN panjang masih berlangsung antara PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN dan sejumlah pengembang listrik swasta. Perusahaan setrum milik negara itu sedang berupaya mengatur ulang jadwal operasi beberapa pembangkit listrik yang semula direncanakan aktif mulai tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manajemen PLN menyebutnya sebagai forum konsultasi, bukan perundingan atau negosiasi. “Sejak tahun lalu dan terus berjalan,” kata Direktur Energi Primer PLN Rudy Hendra Prastowo, Jumat, 20 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk apa? “Pandemi Covid-19 mengubah supply-demand,” ucap Rudy. Karena itu, rapat konsultasi digeber, “Agar dipahami dan disetujui bersama.” PLN membentuk tim khusus untuk konsultasi ini. Menurut Rudy, konsultasi dilakukan dengan independent power producer (IPP) yang proyeknya masih dalam tahap konstruksi.
Bagi PLN, pemunduran jadwal untuk mengurangi beban pembelian listrik ini sebetulnya dilematis. Perseroan sedang mendorong transisi energi dan dekarbonisasi untuk mencapai target nol bersih emisi atau karbon netral pada 2060.
Pandemi Covid-19 membuat permintaan setrum merosot, terutama dari industri yang terkena imbas pembatasan interaksi sosial sejak Maret 2020. Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril dalam sebuah webinar pada 12 Juli lalu memaparkan rata-rata cadangan daya atau reserve margin di seluruh sistem kelistrikan PLN mencapai 52 persen sejak virus corona mengganas.
Dalam sistem kelistrikan Jawa-Bali, misalnya, reserve margin mencapai 50 persen, Sumatera 51 persen, Kalimantan 71 persen, Sulawesi lebih dari 45 persen, dan Maluku-Papua-Nusa Tenggara lebih dari 62 persen. Sebelum pandemi merebak, PLN bisa menjaga tingkat listrik tak terserap di posisi sekitar 30 persen.
Bob membenarkan kabar bahwa PLN tengah menggeber konsultasi dengan IPP untuk memundurkan jadwal operasi pembangkit secara komersial atau commercial operation date. “Banyak pengembang sudah bersedia,” ia menuturkan pada Senin, 16 Agustus lalu.
Penggeseran jadwal ini antara lain menyasar Pembangkit Listrik Tenaga Uap Sumsel 8 yang berkapasitas 2 x 620 megawatt di Muara Enim, Sumatera Selatan. Pembangkit mulut tambang terbesar ini merupakan bagian dari program pengadaan listrik 35 ribu megawatt yang dibangun PT Huadian Bukit Asam Power—perusahaan patungan PT Bukit Asam (Persero) Tbk dan China Huadian Hong Kong Ltd.
Dibangun mulai akhir 2018, proyek ini menelan investasi sekitar US$ 1,68 miliar atau lebih dari Rp 24 triliun dengan pembiayaan dari China Export Import Bank. PLTU Sumsel 8 Unit 1 dirancang beroperasi mulai kuartal IV 2021, disusul Unit 2 pada triwulan I 2022.
Target itu ditegaskan kembali oleh Direktur Utama PT Bukit Asam—saat masih dijabat Arviyan Arifin—pada peringatan hari jadi perseroan ke-40 tahun pada 2 Maret lalu. “Progres konstruksi per Januari 2021 mencapai 70 persen,” ucapnya. “Unit 1 siap beroperasi komersial pada Desember 2021, Unit 2 pada Maret 2022.”
Saat dimintai konfirmasi, Sekretaris Perusahaan Bukit Asam Apollonius Andwie tak menampik ataupun membenarkan kabar adanya pembicaraan antara perusahaannya dan PLN untuk menggeser jadwal komersial PLTU Sumsel 8. Ia menolak menjelaskan dan hanya memberi jawaban singkat: “Progres PLTU Sumsel 8 sudah mencapai 84 persen dan dijadwalkan bisa beroperasi komersial di kuartal I 2022,” ujarnya, Kamis, 19 Agustus lalu.
Petugas melakukan pemeriksaan rutin Gardu Induk PLN di Karet Baru, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Menunda jadwal komersial pembangkit, menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa, adalah opsi yang rasional bagi PLN di tengah permintaan listrik yang turun. Ia menyarankan PLN bernegosiasi dengan para pengembang pada tahap konstruksi untuk menggeser operasi pembangkit setelah 2023.
Fabby memperkirakan reserve margin PLN, yang saat ini rata-rata 52 persen, bakal membengkak menjadi 60 persen bila pembangkit-pembangkit termal proyek 35 ribu megawatt masuk ke sistem dalam satu-dua tahun ke depan. Sementara itu, pertumbuhan permintaan tenaga listrik diproyeksikan berada di bawah 5 persen hingga dua-tiga tahun mendatang. Bila pembangkit-pembangkit dipaksa beroperasi, Fabby menambahkan, “Bisa dipastikan listrik PLN akan overcapacity akut.”
Masalahnya, dalam jual-beli setrum dengan pengembang pembangkit swasta, PLN tersandera skema transaksi take or pay, terutama dengan PLTU batu bara. Artinya, setrum dipakai atau tidak, perusahaan negara ini tetap harus membayarnya.
Pada 2020, biaya pembelian listrik PLN mencapai Rp 98,65 triliun, naik dibanding pada 2019 yang sebesar Rp 83,56 triliun. Per semester I tahun ini, biaya pembelian telah mencapai Rp 50,89 triliun, naik dibanding pada periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya Rp 49,95 triliun.
Dengan biaya setinggi itu, PLN berisiko mengalami kesulitan keuangan. “Saya khawatir pemerintah justru harus bailout kalau kondisi memburuk,” tutur Fabby.
•••
PANDEMI Covid-19 menjadi biang kekacauan finansial itu. Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara Zulkifli Zaini pada awal merebaknya pandemi mengatakan penurunan beban listrik terjadi di hampir semua wilayah. Di sistem kelistrikan Jawa Bali, misalnya, beban puncak menurun sejak pekan ketiga Maret 2020 dengan rata-rata penurunan tertinggi sebesar 9,55 persen dibanding pada tahun sebelumnya. Permintaan listrik di Bali pun merosot hampir 20 persen.
Secara keseluruhan, dampak pandemi Covid-19 membuat konsumsi listrik turun 9,7 persen. Setiap 1 persen penurunan konsumsi listrik menyebabkan pendapatan PLN menyusut Rp 2,8 triliun. "Kalau kenyataannya demand listrik turun 10 persen, pendapatan PLN berkurang Rp 28 triliun," ujar Zulkifli dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat, yang antara lain membidangi energi, pada 22 April 2020.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sudah awas terhadap dampak pandemi pada sektor listrik. Menteri Energi Arifin Tasrif mengatakan pemerintah hendak menegosiasikan ulang kontrak proyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt. “Karena sudah kontrak, tentu kami akan berkomitmen,” katanya saat memaparkan kinerja kementeriannya pada 7 Januari lalu. “Masalahnya, semua pihak terkena dampak pandemi.”
Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 pun dikoreksi dengan perkembangan ini. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi Rida Mulyana mengatakan pemerintah mengoreksi penambahan kapasitas pembangkit listrik baru hingga 15,5 gigawatt dari draf sebelumnya.
Rida menjelaskan, pemangkasan tambahan kapasitas pembangkit sesuai dengan target pertumbuhan listrik dalam RUPTL. Pemerintah memproyeksikan pertumbuhan listrik dalam sepuluh tahun ke depan hanya sekitar 4,9 persen. Angka ini jauh di bawah prediksi RUPTL sebelum koreksi yang memperkirakan pertumbuhan listrik rata-rata 6,4 persen. “Nobody knows kapan pandemi ini berakhir,” ucapnya.
Karena itu, Kementerian Energi memberi PLN kesempatan mengambil sikap dalam menetapkan rata-rata pertumbuhan listrik selama 10 tahun ke depan. Mendapat kesempatan itu, PLN mengkaji opsi-opsi untuk mengurangi seminimal mungkin dampak penurunan permintaan listrik supaya tidak mempengaruhi kinerja operasional perusahaan.
Menteri Arifin mendukung berbagai program untuk menaikkan kembali permintaan listrik. Salah satunya percepatan pembangunan infrastruktur mobil listrik agar penggunaannya makin masif. Pada Rabu, 18 Agustus lalu, Arifin meluncurkan proyek percontohan konversi sepeda motor dengan mesin berbahan bakar minyak menjadi motor listrik.
Proyek tersebut juga bertujuan mendorong percepatan penerapan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai untuk transportasi jalan sebagai realisasi transisi menuju energi bersih. Dalam “Grand Strategi Energi Nasional”, pemerintah menargetkan ada 13 juta sepeda motor listrik dan 2,2 juta mobil listrik pada 2030. Dari program ini, potensi pengurangan konsumsi bahan bakar minyak sebesar 6 juta kiloliter per tahun dan penurunan emisi gas rumah kaca 7,23 juta ton setara karbon dioksida.
PLN juga sedang gencar meluncurkan berbagai program untuk mendongkrak permintaan listrik. Direktur Niaga PLN Bob Saril menjelaskan, perseroan menciptakan pasar baru dengan mengalirkan listrik ke proyek-proyek sektor pertanian, peternakan, perikanan, dan pelabuhan.
Bertepatan dengan peringatan ulang tahun Kemerdekaan RI pada 17 Agustus lalu, PLN meresmikan pengoperasian dua unit Anjungan Listrik Mandiri (Alma) di Pelabuhan Feri Galala, Sirimau, Kota Ambon; dan di Pelabuhan Hunimua, Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah. Sebelumnya, layanan Alma tersedia di Ternate.
Penyediaan infrastruktur pemasok setrum ramah lingkungan di pelabuhan itu merupakan bagian dari program electrifying marine yang bertujuan memenuhi kebutuhan listrik pelanggan temporer di sektor perikanan laut. Misalnya menerangi kapal yang tengah bersandar di dermaga, melistriki lemari penyimpanan hasil laut berpendingin, atau memenuhi kebutuhan listrik tempat pelelangan ikan. Dengan Alma, pengusaha perikanan atau pemilik kapal bisa menghemat biaya operasional hingga 50 persen dibanding memakai mesin genset berbahan bakar solar yang mahal.
PLN juga mengembangkan electrifying agriculture, yakni pemanfaatan energi listrik untuk mengoptimalkan pertumbuhan tanaman. Salah satunya di kebun buah naga di Pacet, Mojokerto, Jawa Timur. Dengan lampu, fotosintesis tanaman buah naga berlangsung selama 24 jam. Walhasil, kebun buah ini bisa dipanen sepanjang tahun, tidak seperti sebelumnya yang hanya dapat dipanen setahun sekali karena cuma mengandalkan musim.
Proyek electrifying agriculture lain adalah memasang lampu di kebun bawang dan lahan hidroponik, juga melistriki pompa untuk irigasi persawahan dan tambak udang. Di Mojokerto saja, PLN memiliki 690 pelanggan program ini dengan konsumsi daya mencapai 1.917.000 kilovolt-ampere.
Program electrifiying agriculture oleh PLN di kebun buah naga, Pacet, Mojokerto, Jawa Timur. /pln.co.id
Dalam hal layanan, PLN juga mempermudah pemasangan listrik bagi pelanggan anyar. Melalui PLN Mobile, pemasangan jaringan listrik baru tak serumit sebelumnya, juga murah dengan pelbagai paket promo. Berbagai upaya itu bisa menyelamatkan nilai penjualan listrik PLN kepada pelanggan pada semester I 2021 sebesar Rp 140,48 triliun, naik dibanding Rp 135,41 triliun pendapatan pada periode yang sama tahun lalu.
Namun semua upaya itu tak cukup. Menurut ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, direksi PLN punya pekerjaan besar menegosiasikan ulang skema transaksi take or pay. Faisal menilai skema bisnis listrik ini membuat PLN babak-belur karena tetap membayar setrum dari pengembang swasta meski tak memakainya. “Skema ini dulu digagas pemerintah. Sekarang pemerintah harus back up PLN untuk renegosiasi,” ujarnya.
Fabby Tumiwa menyarankan, jika tak bisa menghapus sama sekali skema take or pay, PLN minimal dapat menurunkan pembayarannya menjadi di bawah 60 persen dari nilai sekarang yang sebanyak 85 persen. Opsi lain, dia menambahkan, menyetop proyek pembangkit 35 ribu megawatt yang belum memasuki tahap konstruksi dengan kompensasi kepada pengembang untuk membangun pembangkit energi terbarukan berkapasitas sama. “Proyek pengganti harus segera dimasukkan ke draf RUPTL supaya bisa segera dieksekusi,” tuturnya.
Liputan tentang dilema bisnis listrik dan batu bara ini terselenggara dengan dukungan Judith Neilson Institute.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo