Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jamu Pahit Pelangsing Garuda

Krisis keuangan hebat Garuda Indonesia mendorong perusahaan pelat merah ini  mengurangi jumlah karyawan. Banyak pengeluaran yang bisa dihemat.

5 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pos pengeluaran untuk gaji karyawan termasuk beban pembiayaan bulanan terbesar di Garuda, selain pembelian avtur dan sewa pesawat.

  • Untuk menekan beban pembiayaan bulanan, manajemen Garuda menawarkan opsi pensiun dini bagi karyawan secara sukarela

  • Dewan Komisaris terbelah soal kebijakan pensiun dini karyawan, ada yang menyarankan pos pembiayaan teknologi justru lebih mendesak untuk dipangkas.

SEJUMLAH karyawan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk baru bisa bernapas lega pada akhir Mei lalu. Gaji mereka bulan itu akhirnya sampai ke rekening bank masing-masing, utuh, tak kurang serupiah pun. Memang, waktu pembayarannya sempat membikin deg-degan karena sedikit meleset dari jadwal biasanya.

"Memang agak tertunda. Dalam kondisi begini, karyawan tidak mempermasalahkan,” tutur Ketua Harian Serikat Karyawan Garuda Tomy Tampatty saat dihubungi Tempo, Sabtu 5 Juni lalu.

Beberapa karyawan Garuda membenarkan kabar bahwa gaji mereka bulan Mei masih utuh, meski sejumlah hak yang sempat ditunda pembayarannya tahun lalu belum semua dilunasi perusahaan. Sejumlah karyawan lain mengaku gajinya masuk tepat waktu.

Kekhawatiran akan tersendatnya pembayaran gaji karyawan Garuda sempat merebak di lingkup internal perusahaan itu sejak pertengahan Mei lalu. Awal mulanya adalah pengumuman Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra tentang kondisi keuangan perusahaan yang memburuk. Kabar itu disampaikan Irfan dalam sebuah pertemuan besar yang dihadiri semua karyawan. Ketika itu Irfan juga mewanti-wanti bahwa dana untuk membayar gaji karyawan sepekan kemudian masih diusahakan.

Dalam pertemuan itu, Irfan pun menawarkan program pensiun dipercepat atau pensiun dini kepada karyawan. Semua karyawan, tanpa batas usia dan masa kerja, bisa mengikuti program itu. "Sifatnya sukarela," ucap salah satu karyawan Garuda yang hadir dalam pertemuan tersebut.

Sebenarnya tahun lalu manajemen Garuda sudah menawarkan program serupa kepada karyawan. Ketika itu Garuda melepas sekitar 2.000 karyawannya. Sekitar 700 di antaranya berstatus tenaga kerja kontrak, sisanya karyawan yang sukarela mengikuti program tersebut.

Penawaran pensiun dini adalah salah satu opsi yang harus diambil manajemen Garuda agar selamat dari krisis keuangan. Saat ini perusahaan pelat merah itu mencatat utang hingga US$ 4,9 miliar atau sekitar Rp 70 triliun. Nilai tersebut bertambah Rp 1 triliun setiap bulan selama masa penundaan pembayaran kepada pemberi kredit dan pemilik pesawat.

Seperti banyak maskapai penerbangan lain, nasib buruk Garuda Indonesia tak bisa dilepaskan dari pandemi Covid-19. Sempat membaik pada akhir tahun lalu, kinerja keuangan badan usaha milik negara itu kembali terpuruk di awal 2021. 

Masalahnya, beban Garuda bukan cuma itu. Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara Kartika Wirjoatmodjo mengaku maskapai penerbangan nasional itu juga berdarah-darah akibat banyak keputusan bisnis yang tak wajar di masa lalu. Ada soal jenis pesawat yang terlalu beragam, juga rute-rute penerbangan yang tidak menguntungkan. "Permasalahan utama Garuda di masa lalu: efisiensinya bermasalah," kata Tiko—demikian Kartika biasa disapa—dalam rapat kerja dengan Komisi BUMN Dewan Perwakilan Rakyat pada Kamis, 3 Juni lalu.

Sejak Garuda terimbas pandemi pada awal 2020, ada empat pos pengeluaran paling besar, yaitu pembelian bahan bakar pesawat atau avtur, sewa pesawat, perawatan pesawat, dan sumber daya manusia. Pemangkasan biaya di sektor sewa pesawat yang paling sulit dilakukan karena menyangkut perjanjian dengan perusahaan swasta. "Kami sudah memulai proses negosiasi dengan pemberi sewa pesawat," ujar Irfan. Upaya itu berhasil membuat perusahaan berhemat sampai US$ 200 juta.

Harapan manajemen Garuda sempat melambung ketika pemerintah merestui penerbitan obligasi wajib konversi atau mandatory convertible bond pada Desember tahun lalu. Total nilainya mencapai Rp 8,5 triliun. Pencairannya dilakukan bertahap sesuai dengan capaian target kinerja perusahaan. Pada awal 2021, dana tahap pertama mengucur sebesar Rp 1 triliun. Duit sebesar itu langsung dipakai untuk membayar tagihan kepada Pertamina serta Angkasa Pura I dan II. "Tidak ada untuk bayar utang. Sudah habis hanya untuk tiga itu," tutur Irfan.

Sayangnya, tren positif itu belakangan berantakan. Semua proyeksi kinerja korporasi pada bulan-bulan pertama 2021 meleset jauh. Jumlah penumpang yang sempat merangkak naik di akhir 2020 anjlok lagi pada awal 2021. Kondisi kembali seperti pada bulan-bulan di puncak pandemi, September-Oktober tahun lalu. Seorang sumber Tempo menyebutkan jumlah penumpang Garuda tinggal 20-25 persen dibanding saat sebelum pandemi. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Walhasil, efisiensi jadi pilihan utama. Pengencangan ikat pinggang harus dilakukan sembari mengatur ulang jadwal pembayaran berbagai kewajiban yang jatuh tempo. Sumber Tempo di Garuda menyebutkan saat itu manajemen harus kembali menghitung dan mengurangi produksi, juga menunda sejumlah kewajiban, termasuk pembayaran cicilan utang. "Tapi revenue juga belum ada tanda-tanda membaik," ujarnya.

Mengurangi ongkos produksi pun bukannya tanpa tantangan. Meski program pensiun dini bisa meringankan beban biaya gaji secara signifikan, sumber tersebut mengakui strategi itu tak populer dan bisa mengundang perlawanan dari para pilot dan awak kabin.

Apalagi sejak 2015 manajemen Garuda sudah menyetujui model kontrak khusus dengan para pilot. Dengan perjanjian itu, setiap pilot mendapat guaranteed hour allowance selama 60 jam setiap bulan. Jaminan pendapatan para pilot di luar gaji pokok itu membuat pengeluaran perusahaan tetap jumbo meski rute penerbangan dikurangi besar-besaran.     

Selama ini jumlah dan komposisi karyawan Garuda memang tak pernah diotak-atik. Bertahun-tahun tak pernah ada evaluasi terhadap kompetensi dan kesesuaian jumlah karyawan di sana. Menurut sumber Tempo, dalam beberapa kasus, ada karyawan yang masuk karena jalinan kekerabatan semata.   

Manajemen Garuda sempat meminta salah satu karyawan yang memiliki hubungan kekeluargaan, seperti suami-istri, mengundurkan diri dari perusahaan. Setelah itu mereka ditampung di Gapura, perusahaan patungan yang didirikan Garuda, PT Angkasa Pura I (Persero), dan PT Angkasa Pura II (Persero). "Kebijakan perampingan karyawan ketika itu malah tidak konsisten karena manajemen tidak tegas," kata Dewo Daryanto, mantan direktur strategic business unit Garuda Aviation Training, pada Sabtu, 5 Juni lalu. Buah kesalahan manajemen semacam itu terus terakumulasi dan membuat biaya gaji karyawan Garuda terus membubung.

Di tubuh Garuda sendiri, strategi perampingan biaya melalui program pensiun dini tak sepenuhnya didukung. Komisaris Garuda, Peter F. Gontha, salah satu yang tak sepakat. Menurut dia, lebih baik manajemen menyesuaikan besaran gaji karyawan, khususnya pilot dan kru kabin, tanpa mengurangi jumlah mereka. 

"Paling enggak mereka bisa makan, bayar listrik di rumah. Yang terbang dibayar, bergantian," ujar Peter, Rabu, 2 Juni lalu. Dia menjelaskan, skema semacam itu bisa memangkas pengeluaran untuk gaji sampai 50 persen. Biaya program pensiun dini, dia menambahkan, lebih membebani perusahaan.  

Komisaris Garuda yang lain, Zannuba Ariffah Chafsoh, punya saran berbeda. Sejak Maret tahun lalu, Yenny Wahid—demikian Zannuba biasa disapa—sudah meminta direksi Garuda memetakan upaya restrukturisasi dan perampingan di perusahaan. Menurut dia, penghematan bisa dilakukan antara lain dengan mengganti sistem teknologi yang dipakai dalam pemesanan tiket penumpang.  

Selama ini, seperti sejumlah maskapai lain, Garuda menggunakan global distribution system. Sistem ini mengatur transaksi antara penyedia layanan dan agen perjalanan. Setiap tahun Garuda membayar Rp 1,3 triliun untuk menyewa sistem reservasi komputer dari Amadeus IT Group yang berpusat di Madrid, Spanyol.  

Yenny menyarankan Garuda membangun sistem berbasis new distribution capability yang dikembangkan Asosiasi Pengangkutan Udara Internasional (IATA). Saat ini, kata dia, banyak maskapai sudah menggunakan sistem ini. Selain lebih murah, sistem tersebut memungkinkan Garuda menguasai data konsumen yang bisa dipakai untuk mempelajari perilaku pelanggan. 

Yenny meminta manajemen Garuda serius melakukan transformasi teknologi dan merumuskan strategi bisnis yang tepat. "Ini cara (agar Garuda) cantik, langsing, dengan migrasi sistem," ucapnya. Garuda memang tak punya pilihan lain: agar bisa kembali mengangkasa, berbagai strategi efisiensi itu bak jamu pahit yang harus ditelan. 

AISHA SHAIDRA, RETNO SULISTYOWATI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Aisha Shaidra

Aisha Shaidra

Bergabung di Tempo sejak April 2013. Menulis gaya hidup dan tokoh untuk Koran Tempo dan Tempo.co. Kini, meliput isu ekonomi dan bisnis di majalah Tempo. Bagian dari tim penulis liputan “Jalan Pedang Dai Kampung” yang meraih penghargaan Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Lulusan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus