Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia atau BI menyatakan bahwa devaluasi atau pelemahan mata uang Yuan milik Cina tidak banyak memberikan pengaruh pada kinerja ekspor Indonesia. Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo mengatakan pengaruh yang besar justru bisa datang dari penurunan permintaan atau kualitas barang ekspor asal Indonesia.
"Jadi transaksi ekspor impor kita memang dalam jangka pendek tidak begitu terkait dengan devaluasi mata uang Cina, dalam jangka pendek," kata Dody kepada awak media di Gedung Thamrin, Kompleks Bank Indonesia, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Senin 12 Agustus 2019.
Dody mengatakan dari sisi perdagangan Indonesia dengan Cina juga tak akan banyak berpengaruh akibat devaluasi mata uang Yuan. Sebab, porsi perdagangan tersebut tidak ditentukan secara langsung dari sistem nilai tukar.
Menurut Dody, BI akan tetap siaga di pasar keuangan untuk memastikan kestabilan nilai tukar rupiah supaya tetap sejalan dengan kondisi fundamental. Dia mengatakan, antisipasi ini demi menjaga potensi dampak pelemahan mata uang Yuan yang bisa meningkatkan risiko pasar keuangan domestik.
Salah satu caranya adalah dengan bersiaga untuk setiap saat melakukan investasi di berbagai pasar keuangan. Selain itu, intervensi juga bakal diikuti dengan menjaga kondisi likuiditas untuk tetap memadai sehingga kondisi kestabilan pasar tetap terjaga.
Lebih lanjut, Dody juga yakin, mata uang Yuan tidak akan terus melemah. Sebab pelemahan itu juga bakal berdampak pada kondisi keuangan dan juga permintaan ekspor di pasar domestik Cina.
"Negara-negara perlu juga untuk memberikan topangan pada permintaan domestik, risiko curency war tidak besar terlebih di tengah permintaan global yang memang sedang melemah," ujar Dody.
Ketua Komite Tetap Ekspor Kamar Dagang dan Industri atau Kadin Indonesia Handito Joewono mengatakan, kebijakan devaluasi Yuan oleh China bisa menjadi ancaman tersendiri bagi Indonesia. Apalagi ketika liberalisasi perdagangan diberlakukan di antara negara anggota ACFTA dan RCEP, maka keuntungan terbesar akan diperoleh Negeri Panda.
Sebabnya, kata Handito, harga produk ekspor dari Cina bisa menjadi yang paling murah dibandingkan dengan negara lain. Karena itu, supaya tidak kalah saing produk ekspor dari Indonesia harus mampu lebih efisien dan memiliki kualitas yang baik sehingga memiliki daya saing di pasar ekspor.
“Pemerintah mesti fasilitasi agar produk kita lebih berdaya saing, salah satunya dengan menurunkan bunga kredit ekspor. Sebab tingginya bunga kredit ekspor selama ini membuat eksportir kita kesulitan dalam melakukan ekspor,” kata Handito seperti dikutip dari Bisnis, Senin.
BISNIS | ANTARA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini