Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Persatuan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Joko Suyanto memastikan pihaknya tak ketinggalan beradaptasi menerapkan layanan digital, seperti mulai melirik industri teknologi finansial (fintech). Joko mengatakan pihaknya tengah menyiapkan transformasi layanan digital dengan mulai mengimplementasikan sistem pembayaran nontunai (cashless).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami sudah mulai ke arah sana. Namanya e-cash BPR. Kami bekerja sama dengan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Ini sudah mulai pilot project-nya,” ucapnya kepada Tempo, Kamis, 22 Februari 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Joko berujar, transformasi kemampuan dan kapasitas BPR itu diharapkan dapat memberikan tambahan layanan bagi masyarakat sesuai dengan kebutuhan saat ini. “Kami semakin meningkatkan transformasi di era digital dan bisa menjadi pilar pembantu program-program pemerintah.” Selain mengupayakan transformasi digital secara mandiri, BPR membuka peluang untuk berkolaborasi langsung dengan industri fintech.
Sementara itu, ihwal partisipasi BPR dalam menyukseskan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) milik pemerintah, Joko menuturkan telah lebih dulu dimulai. Salah satu upaya yang ditempuh BPR untuk meningkatkan daya saing adalah bekerja sama dengan bank umum untuk dapat ikut menyalurkan program KUR. Dia tak menampik, jika suku bunga KUR yang rendah, yaitu 9 persen pada 2017 dan 7 persen di 2018, menjadi daya tarik bagi masyarakat. Pemerintah juga terus menambah plafon KUR setiap tahun, yang tahun ini mencapai Rp 120 triliun.
Dengan demikian, dalam penyaluran KUR, Perbarindo pun telah meneken kerja sama channeling dengan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. “Intinya, dalam bisnis, kalau teman sebelah jualan lalu kita enggak jualan, itu akan menjadi kelemahan. Tapi, kalau kita ikut jualan juga, ini akan menjadi kompetisi atau bersaing. Dari sisi bisnis, ini akan menguntungkan dengan beragam variasi,” katanya.
Namun, ucap Joko, saat ini baru segelintir BPR yang ikut dalam channeling KUR bersama BNI ini. “Ke depan, kami mau berdiskusi lagi dengan BNI, bagaimana skema program ini bisa terus diperbaiki.”
Wakil Ketua Asosiasi Fintech Indonesia Adrian A. Gunadi berujar, saat ini pihaknya masih menjajaki potensi kolaborasi dengan BPR. “Kami masih mencari bentuk yang pas terkait dengan model kerja sama, target market, dan implementasinya,” tuturnya.
Menurut dia, dalam prosesnya, diperlukan penyesuaian sejumlah aturan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait dengan fungsi operasional BPR. “Aturan itu terkait dengan tanda tangan digital belum bisa dan verifikasi. Intinya, kami sudah siap, tinggal OJK dan BPR.”
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, membenarkan, jika tak berkolaborasi, perkembangan pesat industri fintech dapat mengancam para pemain kredit segmen mikro seperti BPR dan koperasi. Terlebih, fintech memiliki kelebihan dari sisi penggunaan teknologi dengan proses yang terintegrasi serta tak kala cepat. “BPR akan kalah dari segi SDM yang sulit untuk bersaing, karena fintech lebih efisien dan berkualitas. Bahkan soal permodalan juga fintech semakin kuat karena didukung perbankan juga,” katanya.
Dengan demikian, ucap Bhima, mau tak mau, untuk mengejar ketertinggalan, BPR harus berkolaborasi dengan fintech. Sejumlah BPR telah menjalin kerja sama dengan perusahaan fintech, seperti Modalku dan Amartha. “Meskipun fintech secara teknologi canggih, sentuhan SDM dari BPR juga penting untuk membantu mengetahui karakteristik nasabah lebih dalam. BPR bisa memahami karakter wilayah lebih baik, sehingga saling membutuhkan,” ujarnya.
Selain itu, dia meminta pemerintah membantu memudahkan proses kolaborasi keduanya, khususnya dari sisi administrasi perizinan bagi BPR yang ingin mengembangkan layanan dan fasilitas produknya. “OJK perlu menyamakan level of playing field antara BPR dan fintech, sehingga BPR bisa semakin lincah.”
Fintech semakin dipercaya dalam pemberian fasilitas kredit mikro, di antaranya oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang menggandeng start up peer to peer lending, akseleran untuk program OK OCE (One Kecamatan One Center for Entrepreneurship). “Ini hebat, anggota OK OCE bisa mendapatkan pinjaman melalui skema peer to peer lending dengan bunga 1,5 persen per bulan atau 18 persen per tahun. Untuk UKM, itu murah,” tutur Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno.
GHOIDA RAHMAH | ANDI IBNU