Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan garis kemiskinan yang dihitung lembaganya mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia. Pernyataan ini dikeluarkan sebagai respons atas perbedaan angka kemiskinan antara BPS dengan Bank Dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Garis kemiskinan dihitung berdasarkan hasil pendataan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang memotret atau mengumpulkan data tentang pengeluaran serta pola konsumsi masyarakat,” ucap Amalia dalam keterangan resmi pada Jumat, 2 Mei 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
BPS mengukur kemiskinan di Indonesia dengan pendekatan kebutuhan atau cost of basic needs yang dihitung berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan.
Pada September 2024, garis kemiskinan nasional per kapita tercatat Rp 595.242 per bulan. Namun, kata Amalia, konsumsi terjadi dalam konteks rumah tangga, bukan per individu. Rata-rata rumah tangga miskin terdiri dari 4,71 anggota rumah tangga, sehingga garis kemiskinan untuk satu rumah tangga secara rata-rata nasional adalah Rp 2.803.590 per bulan. Garis kemiskinan juga berbeda untuk setiap provinsi, sebab ada perbedaan dalam tingkat harga, standar hidup, dan pola konsumsi di masing-masing daerah.
Amalia menjelaskan, garis kemiskinan adalah angka rata-rata yang tidak memperhitungkan karakteristik individu seperti usia, jenis kelamin, atau jenis pekerjaan. “Dengan memahami konsep garis kemiskinan yang benar, maka kemiskinan tidak dapat diterjemahkan sebagai pendapatan per orang,” ucap dia.
Dalam laporan Macro Poverty Outlook yang dirilis April 2025, Bank Dunia melaporkan ada sebanyak 60,3 persen masyarakat Indonesia yang tinggal di bawah garis kemiskinan atau setara 171,8 juta jiwa. Sedangkan berdasarkan data BPS, tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024 adalah sebesar 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa.
Bank Dunia memiliki tiga pendekatan atau garis kemiskinan untuk memantau pengentasan kemiskinan secara global dan membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara. Ketiga garis kemiskinan tersebut dinyatakan dalam US$ PPP atau purchasing power parity, yaitu metode konversi yang menyesuaikan daya beli antarnegara. Nilai dolar yang digunakan bukanlah kurs nilai tukar yang berlaku saat ini, melainkan paritas daya beli. Adapun US$ 1 PPP tahun 2024 setara dengan Rp 5.993,03.
Dalam laporan Bank Dunia, angka 60,3 persen didapatkan dari penghitungan PPP sebesar US$ 6,85 per kapita per hari untuk negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income). Dengan Gross National Income per kapita sebesar US$4.879, Indonesia masuk ke dalam kategori menengah atas. Namun, pendapatan ini masih mendekati batas bawah dalam range kategori tersebut yang berkisar antara US$ 4.516 - US$ 14.005.
Pilihan Editor: Mengapa Industri Retail Terus Berguguran