Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, studi Kereta Cepat Jakarta-Surabaya yang melibatkan BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) serta JICA masih berjalan untuk saat ini. Meski begitu, khusus untuk studi jalurnya, sudah masuk finalisasi.
Baca juga: Jepang Usul Kereta Jakarta-Surabaya 120 Km/jam, Menhub: Tanggung
"Mungkin pada satu bulan ini akan finalisasi soal jalur," ujar Budi seusai menemani perwakilan pemerintah Jepang menemui Presiden Joko Widodo di kompleks Istana Kepresidenan, Selasa, 5 September 2017.
Pemerintah Indonesia dan Jepang melakukan studi bersama soal kereta cepat Jakarta-Surabaya untuk memastikan proyek tersebut bisa berjalan. Studi tersebut dilakukan oleh BPPT dan JICA (Japan International Cooperation Agency) selaku investor.
Adapun studi yang berlangsung mencakup beberapa hal. Tiga di antaranya terkait kecepatan, elektrifikasi, serta jalur sepanjang 685 kilometer yang diklaim Budi dalam tahap finalisasi.
Budi menjelaskan, studi perihal jalur untuk menentukan apakah kereta cepat Jakarta-Surabaya akan memakai jalur yang sudah ada atau membuat jalur baru. Ia berkata, masing-masing ada keuntungan dan kerugiannya.
Indonesia sendiri, kata Budi, lebih memilih pembangunan jalur baru untuk kereta cepat Jakarta-Surabaya. Pertimbangannya beragam mulai tidak adanya okupansi, minimnya masalah sosial, hingga memberikan kecepatan pada kereta secara lebih baik.
Budi mengakui bahwa ada kemungkinan pembangunan jalur sendiri akan memakan biaya lebih besar. Namun, pihak Indonesia dan Jepang sudah memikirkan sejumlah solusi untuk menekan harga seperti membangun jalur di pinggir jalan tol yang relatif lebih mudah.
"Dari segi harga, sebenarnya belum ada kepastian mana yang lebih murah. Tetapi, di jalur baru, setidaknya kami tidak akan menghadapi okupansi masyarakat," ujar Budi.
Ditanyai apakah pihak Jepang juga memberikan preferensinya soal jalur Kereta Cepat Jakarta-Surabaya, Budi mengatakan tidak. Ia berkata bahwa Jepang tidak menyarankan apa-apa sehingga hanya Indonesia yang mendorong penggunaan jalur baru. "Berdasarkan pengalaman, saat kita membangun jalur double track, itu komplikasinya luar biasa dan menimbulkan keterlambatan pembangunan," ujarnya.
ISTMAN MP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini