Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Bursa Berjangka Komoditi RI Masih Tertinggal, Apa Indikatornya?

Bursa Berjangka Komoditi Indonesia (Jakarta Futures Exchange) masih kalah bersaing dengan negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.

15 Oktober 2017 | 15.51 WIB

Kantor PT Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia di Jl. S. Parman, Jakarta, Kamis(5/1). TEMPO/Dwianto Wibowo
Perbesar
Kantor PT Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia di Jl. S. Parman, Jakarta, Kamis(5/1). TEMPO/Dwianto Wibowo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, PalembangBursa Berjangka Komoditi Indonesia (Jakarta Futures Exchange) masih kalah bersaing dengan negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia meskipun negara telah membuka perdagangannya sejak tahun 2000. Hal ini ditunjukkan dari volume transaksi di dalam negeri yang masih sangat minim dibanding negara tetangga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Head of Corporate Secretary Kliring Berjangka Indonesia Agung Waluyo menyatakan, hingga kini Indonesia masih kalah jauh dibandingkan Malaysia untuk perdagangan berjangka komoditi. "Dilihat dari volume transaksinya saja, Malaysia bisa 26 kali lebih besar dibandingkan Indonesia," kata Agung dalam kegiatan edukasi bursa berjangka ke sejumlah wartawan di Palembang, Ahad, 15 Oktober 2017.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Oleh karena itu, menurut Agung, dibutuhkan upaya serius dari berbagai pihak jika ingin memajukan BBK ini. Indonesia sebenarnya dapat saja mencontoh cara Malaysia dalam menstimulus pertumbuhannya. "Keseluruhan Kementerian di Malaysia berupaya menjadi komoditi yang mereka awasi masuk dalam bursa," ucapnya. Melalui cara ini pula, bursa komoditi berjangka bisa tumbuh di beberapa kota di Amerika Serikat seperti di New York dan Chicago.

Sementara ini Bursa Berjangka Komoditi Indonesia mencatat 58 member pialang dan 15 member pedagang dengan total member bursa 75. Dari jumlah ini, sebanyak 30 member dinyatakan aktif, 10 member kurang aktif, dan 18 member tidak aktif. Menurut Agung, jumlah ini masih sedikit jika mengacu pada total GDP Indonesia. "Sebenarnya peluang bagi Indonesia di masa datang karena potensi pasar masih sangat besar sekali," kata Agung.

Hal senada disampaikan oleh Kepala Divisi IT Bursa Berjangka Jakarta (Jakarta Futures Exchange) Lukas Lauw bahwa pertumbuhan bursa komoditi di Indonesia sangat lambat meski sudah 17 tahun berkiprah. "Hingga kini bisa dikatakan masih bayi, belum take off," ucapnya. "Karena jujur saja, hingga kini sulit untuk mengalihkan investor yang sudah kadung bergabung dengan bursa lain untuk masuk ke bursa dalam negeri."

Menurut Lukas, banyak langkah yang sudah dilakukan pemerintah dalam hal ini Kliring Berjangka Indonesia namun tak kunjung mendongkrak pertumbuhan. Salah satu langkah yang diambil adalah dengan turut memperdagangkan olien seperti bursa Malaysia yang sejak lama telah memperdagangkan CPO.

Kemudian, kata Lukas, pihaknya menyediakan sarana perdagangan elektronik dengan mengratiskan pialang."Kami tanyakan ke pialang, mengapa tidak masuk bursa di Indonesia saja. Mereka bilang, harga-harganya kurang seksi, kurang fluktuatif. Saya pikir, ada benarnya juga," tuturnya.

Hingga kini Indonesia masih jauh tertinggal dalam sisi pemanfaatan sarana investasi di lantai bursa, baik di Bursa Efek dan Bursa Berjangka Komoditi. Hal ini dapat terlihat dari jumlah akun, di BEI hanya ada 600 ribu  akun, sedangkan di JFX hanya 120 ribu akun. Secara ideal seharusnya mencapai 5 persen dari total penduduk sekitar 250 juta jiwa.

ANTARA

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus