Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai kasus dugaan korupsi bahan bakar minyak (BBM) di lingkungan PT Pertamina (Persero) mencerminkan buruknya tata kelola energi di Indonesia. Mekanisme yang ada saat ini, menurut Celios, belum memadai untuk mencegah praktik-praktik korupsi di sektor energi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti hukum Celios, Muhamad Saleh, mengatakan tata kelola energi di Tanah Air masih buruk. "Mulai dari subsidi BBM yang tidak transparan, lemahnya pengawasan, hingga minimnya akuntabilitas dalam pengadaan minyak," kata Saleh dalam keterangan tertulis pada Jumat, 28 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Saleh, mekanisme tata kelola energi di Indonesia masih cenderung reaktif. Seharusnya, kata dia, ada langkah-langkah preventif yang bisa mencegah terjadinya penyelewengan dalam tata kelola energi.
Salah satu contohnya, ia berujar, adalah data impor dan transaksi pembelian minyak yang tidak terbuka bagi publik. Keadaan tersebut dia nilai membuka celah bagi praktik korupsi.
Ia pun mengatakan kasus korupsi energi harus mendapatkan penyelesaian yang konkret. "Masyarakat yang dirugikan akibat kualitas BBM yang buruk atau kenaikan harga akibat praktik korupsi harus mendapatkan kompensasi yang layak," ujar dia.
Publik, kata dia, perlu mendapatkan ruang hukum yang efektif untuk menggugat perilaku korup. "Baik melalui class action maupun citizen lawsuit, guna memperkuat aspek keadilan bagi korban."
Kejaksaan Agung sebelumnya menetapkan sembilan tersangka kasus impor minyak. Ada sejumlah petinggi Pertamina yang menjadi tersangka. Mereka adalah Maya Kusmaya (MK) selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga dan Edward Corne (EC) selaku VP Trading Operation Pertamina Patra Niaga. Selain itu, ada juga Direktur Utama Patra Niaga Riva Siahaan, Direktur Optimasi Feedstock & Produk PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Sani Dinar Saifuddin, dan Direktur PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi.
Para tersangka korupsi Pertamina ini diduga melakukan blending atau mengoplos BBM jenis Pertamax dengan Pertalite. Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan yang ditetapkan sebagai salah satu tersangka diduga membeli RON 90 atau lebih rendah, namun mengaku membeli RON 92. Kemudian RON 90 itu dioplos atau blending di storage atau depo untuk menjadi RON 92.
Pelaksana tugas harian Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra, membantah soal Pertamax oplosan seperti yang ditudingkan Kejaksaan Agung. Ega menjelaskan BBM yang diterima Pertamina Patra Niaga berasal dari dua sumber utama, yakni kilang dalam negeri dan pengadaan dari luar negeri. Produk tersebut sudah memiliki nilai RON yang sesuai sebelum didistribusikan.
Pilihan Editor: LBH Jakarta Kebanjiran Ratusan Aduan tentang Pertamax Oplosan