Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pedagang kaki lima (PKL) di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, mengungkap adanya praktik premanisme berkedok organisasi kemasyarakatan (ormas) yang sudah berlangsung selama beberapa dekade. Sejumlah anggota ormas itu diduga memalak pedagang agar mau menyetorkan uang dengan dalih biaya sewa lapak dan jaminan tidak ditertibkan oleh aparat berwenang. “Setiap bulan itu harus membayar Rp 1 juta, tapi nanti setiap hari harus bayar juga uang harian Rp 20 ribu. Kalau tidak setor yang enggak bakal boleh jualan di sini,” kata salah satu PKL di Pasar Induk Kramat Jati, Karsidi, pada Rabu, 14 Mei 2025, seperti dikutip dari Antara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karsidi mengatakan bahwa terdapat sekitar 150 PKL yang menggelar lapak di lingkungan Pasar Induk Kramat Jati. Jumlah uang yang dibayarkan kepada ormas setiap bulan bisa menyentuh angka Rp 1,6 per pedagang. “Kalau ditotal dalam satu bulan berarti Rp 225 juta,” ucap Karsidi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia menduga bahwa setoran uang itu hanya masuk ke kantong pribadi ormas, tidak ada yang menjadi sumber pemasukan negara. "Padahal ini lahan kan milik pemerintah daerah (pemda)," ujar Karsidi.
Walaupun mengeluh, dia tetap menyetorkan uang kepada anggota ormas agar bisa membuka lapak di badan jalan dan tidak ada yang berani melarang. “Karena kalau ada yang melarang, dari ormasnya pasti langsung turun tangan,” kata Karsidi.
Dia menuturkan bahwa beberapa hari lalu, kepala keamanan Pasar Induk Kramat Jati hampir dipukuli oleh anggota ormas ketika berusaha melakukan penertiban. Pria yang diduga menerima intimidasi tersebut adalah purnawirawan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Sementara itu, para pedagang resmi di dalam los Pasar Induk Kramat Jati yang membayar uang retribusi kepada Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Pasar Jaya merasa keberatan dengan kehadiran PKL. Salah satu pedagang resmi bernama Riki mengatakan keberadaan PKL itu sudah memenuhi pintu masuk sejak puluhan tahun lalu dan jumlahnya mencapai ratusan.
Menurut Riki, para PKL itu bebas menjajakan dagangannya dan tidak bisa ditertibkan karena adanya dugaan perlindungan dari ormas. Mereka bisa berjualan karena membayar hingga jutaan rupiah dan sudah beroperasi selama puluhan tahun, sehingga sulit untuk dibasmi. “Makanya, kami berharap revitalisasi dan penataan segera dilanjutkan. Dan ketika sudah rapi, pasti akan lebih banyak lagi pembeli yang datang,” ucap Riki.
Riki pun berharap agar pihak Polri dapat segera turun ke lapangan untuk menangkap oknum anggota ormas yang selama ini meresahkan para pedagang.