Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Chatib Basri Cerita Perbandingan RI dengan Singapura Saat Ekonomi Terkontraksi

Menurut Chatib Basri, ketika dunia pulih pada tahun 2018,, Singapura tumbuh sangat cepat, bahkan lebih dari 10 persen.

19 Oktober 2022 | 21.48 WIB

Chatib Basri. TEMPO/Dwianto Wibowo
Perbesar
Chatib Basri. TEMPO/Dwianto Wibowo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri memprediksi ekonomi global mengalami perlambatan saat resesi global pada tahun 2023. Akibatnya, kebutuhan input untuk energi dan komoditas juga akan mengalami penurunan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Kebutuhan input untuk komoditas dan energi yang menurun itu, menurut dia, akan membawa dampak pada ekonomi Indonesia. Alasannya, mayoritas atau 60 persen dari ekspor Indonesia berasal dari energi dan komoditas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan begitu, Chatib memperkirakan nilai ekspor Indonesia tahun depan bakal turun dan berimplikasi pada surplus perdagangan tidak akan setinggi tahun ini. “Bahkan bukan tidak mungkin kita mengalami current account deficit, walaupun relatif kecil,” ujar Chatib dalam acara Indonesia Khowledge Forum XI 2022 yang digelar virtual pada Selasa, 18 Oktober 2022.

Hal itu juga memiliki implikasi kepada pelemahan ekspor dan pelemahan harga komoditas. Tak hanya berimbas ke pengusaha, tapi juga ke penerimaan negara. “Nah kalau ekspornya mengalamai penurunan, praktis ekonomi Indonesia akan melambat,” tutur Chatib.

Namun begitu, Chatib menyebutkan Indonesia masih cukup beruntung. Apalagi bila dibandingkan dengna negara seperti Singapura yang porsi ekspor terhadap PDB-nya sebesar 200 persen atau negara seperti Taiwan yang porsi terhadap ekspor PDB-nya sangat tinggi. Sedangkan Indonesia porsi ekspor terhadap PDB hanya 25 persen.

“Jadi bodoh-bodohannya, kalau kita enggak bisa ekspor lagi, kira-kira yang hilang dari GDP itu 25 persen. Berbeda dengan Singapura yang hilang 200 persen,” kata Chatib Basri.

Lebih jauh ia menyebutkan, perekonomian nasional tak bisa lepas dari kondisi global. “Resep terbaik untuk terhindar dari resesi adalah tidak terintegrasi pada global, tapi tentu itu tidak mungkin.”

Sehingga, menurut dia, negara yang keterhubungannya sangat kecil atau less integrited itu dampaknya relatif kecil. Hal tersebut yang kemudian menolong Indonesia saat krisis tahun 2008 dan saat pandemi Covid-19. Itu juga penyebab saat pandemi, Chatib Basri menyebutkan kontraksi Indonesia hanya minus 2,1 persen.

Selanjutnya: Ketika dunia pulih, Singapura tumbuh sangat cepat, lebih dari 10 persen. 

Sebaliknya, Chatib melanjutkan, ketika dunia pulih, Singapura bisa tumbuh dengan sangat cepat dan melampaui dari 10 persen. Sementara Indonesia itu tertahan pertumbuhan ekonominya di sekitar 5-7 persen. Dia menlai jika 7 persen pada saat recovery dibandingkan dengan negara lain sebetulnya relatif kecil dan  rendah.

“Dalam konteks ini efek dari slow down dari global economy terhadap ekonomi Indonesia itu terbatas karena siap dari ekspor terhadap GDP-nya kecil,” kata Chatib. “Lalu apakah ini by design? Jawabannya tidak, karena kita ingin seperti Singapura sebenarnya.”

Namun, menurut komisaris salah satu bank pelat merah itu, karena berbagai hal Indonesia tidak kompetitif dan memilih diuntungkan dengan ketidakmampuan. Jeleknya nanti ketika global recovery terjadi Indonesia akan lambat mengalami pemulihan. 

Di sisi lain, jika kemudian The Fed menaikkan bunga, maka Chatib menambahkan, implikasinya adalah akan sangat menarik untuk menempatkan uang di Amerika. Sekarang perbedaan antara Fed Fund Rate dan Bank Indonesia Rate itu mungkin terendah sepanjang sejarah. “Itu yang menjelaskan mengapa rupiahnya terus mengalami pelemahan.”

Dalam kondisi seperti ini, Chatib memperkirakan, mau tidak mau Bank Indonesia tidak bisa memiliki independent monetery policy. Selain itu bank sentral terpaksa mengikuti kenaikan bunga di Amerika untuk menjaga supaya nilai tukarnya tidak terdepresiasi lebih dalam.

Chatib menilai, ekonomi Indonesia menurut saya masih relatif kuat dalam 6 hingga 8 bulan ke depan. Dan setelah itu akan ada implikasi dari perkembangan situasi global yang bisa berpengaruh kepada ekonomi Indonesia. 

“Saya memang masih percaya pada tahun 2022, bahkan kuartal ketiga, Indonesia mungkin akan tumbuh relatif kuat sekali, sekitar 5,4 persen atau 5,5 persen,” ujar Chatib Basri.

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini

M. Khory Alfarizi

Alumnus Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat. Bergabung di Tempo pada 2018 setelah mengikuti Kursus Jurnalis Intensif di Tempo Institute. Meliput berbagai isu, mulai dari teknologi, sains, olahraga, politik hingga ekonomi. Kini fokus pada isu hukum dan kriminalitas.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus