Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEBIH banyak mudarat ketimbang manfaat. Itulah risikonya bila melepas batas defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau defisit APBN. Bahkan, di mata Teguh Dartanto, rencana pemerintah melepas defisit di atas 3 persen tanpa alasan mendesak—seperti pada masa pandemi Covid-19—bisa berakibat fatal bagi kebijakan fiskal nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saat tak ada pengendalian defisit seperti di masa Orde Baru, beban utang kita, khususnya luar negeri, melonjak tinggi," ujar Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia itu kepada Tempo, Kamis, 4 Juli 2024. Walhasil, ketika krisis moneter 1998 terjadi, kondisi fiskal kian terjepit karena jerat tumpukan utang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teguh menilai ketidakhati-hatian mengelola utang serta defisit anggaran pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat dan investor terhadap kredibilitas pemerintah dalam pengelolaan keuangan negara. “Pasar keuangan akan selalu memberikan hukuman kepada perilaku tidak hati-hati dalam pengelolaan keuangan negara,” ucapnya.
Ketika pemerintah leluasa melebarkan defisit anggaran serta jorjoran menambah utang, pelaku pasar keuangan dan investor akan khawatir terhadap kemampuan pemerintah membayar kewajiban di masa depan. “Investor akan melepas obligasi pemerintah, lalu menukarnya ke aset-aset lain yang lebih aman," tutur Teguh. Arus modal keluar ini yang mendorong pelemahan rupiah.
Direktur Eksekutif Institute for Demographic and Poverty Studies Yusuf Wibisono mengatakan batas defisit anggaran mutlak dibutuhkan agar setiap rezim punya bantalan ketika terjadi krisis yang mengguncang perekonomian. Menurut Yusuf, "Lonjakan utang publik yang tidak terkendali dapat memberikan tekanan inflasi dan merusak fungsi intermediasi perbankan."
Bukan cuma itu. Yusuf menilai upaya pemerintah melebarkan ruang defisit dan menambah utang yang didominasi penerbitan surat berharga negara juga dapat memicu perebutan dana di pasar keuangan. Alih-alih menyalurkan kredit ke sektor riil, perbankan cenderung memilih membeli surat utang pemerintah karena risikonya lebih kecil. “Kondisi itu sudah terjadi saat ini,” ujarnya. Buktinya, angka pertumbuhan investasi bank di instrumen surat berharga lebih tinggi ketimbang pertumbuhan kredit.
Peneliti Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance, Abdul Manap Pulungan, menyebutkan peniadaan batas defisit anggaran tak menjamin penarikan utang bakal bersifat produktif dan berdampak pada kesejahteraan masyarakat serta pertumbuhan ekonomi. “Bukan tidak mungkin malah dipakai untuk gali lubang tutup lubang,” ucapnya.
Bagi negara berkembang dengan ketidakpastian perekonomian tinggi dan tingkat penerimaan negara yang masih rendah, peniadaan batas defisit justru akan membuat anggaran negara kian jebol. “Kecenderungan belanjanya tidak efektif dan potensi moral hazard makin besar," kata Abdul. "Sebab, sudah blong, tidak ada remnya lagi."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Risiko Melepas Defisit Anggaran"