Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Delapan Fakta di Balik Rencana KPI Awasi YouTube dan Netflix

KPI bersiap untuk mengawasi tayangan di media baru bersiaran seperti YouTube, Facebook Live, HBO TV, dan Netflix.

11 Agustus 2019 | 12.05 WIB

Facebook Logo, Netflix Logo, dan Youtube Logo
Perbesar
Facebook Logo, Netflix Logo, dan Youtube Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta -Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI bersiap untuk mengawasi tayangan di media baru bersiaran seperti YouTube, Facebook Live, HBO TV, dan Netflix. Meski menuai banyak penolakan dari warganet, Ketua KPI Agung Suprio memastikan lembaganya tetap berpedoman pada Peraturan dan Pedoman Perilaku Penyiaran serta Standar Program Siaran atau P3SPS dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. “Kami tidak menyensor, tidak blurring, kata Agung saat dihubungi di Jakarta, Sabtu, 10 Agustus 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Tempo mengumpulkan sejumlah fakta dan keterangan dari pro kontra pengawasan konten media-media tersebut oleh KPI. Di antaranya:

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

1. Bermula setelah pelantikan

Wacana pengawasan ini muncul usai pengukuhan komisioner KPI periode 2019-2022 di Gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika. Agung diangkat menjadi Ketua KPI menggantikan ketua sebelumnya, Yuliandre Darwis. Usai dilantik, Agung mengatakan KPI akan segera mengupayakan aturan yang nantinya menjadi dasar hukum untuk pengawasan konten digital dari media seperti YouTube, Facebook, Netflix dan media sejenis.

"Kami malah ingin segera bisa mengawasi itu, karena di media baru atau media digital saat ini kontennya sudah termasuk dalam ranah penyiaran," kata Agung di Jakarta, Senin, 5 Agustus 2019. Pengawasan tersebut agar konten-konten yang berada di media digital memang layak ditonton serta memiliki nilai edukasi, juga menjauhkan masyarakat dari konten berkualitas rendah.

Selain itu, KPI mengupayakan aturan pengawasan media digital bisa dimasukkan ke dalam revisi undang-undang penyiaran, dan diharapkan DPR bisa segera merevisinya. "Kami juga akan merevisi P3SPS atau Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, karena P3SPS dibuat sudah lama, jadi ada hal-hal baru yang belum terakomodasi, ini akan kita revisi dalam waktu yang sesingkat-singkatnya," ujar Agung.

2. Puluhan ribu warganet protes

Lima hari kemudian, puluhan ribu warganet menandatangani petisi menolak pengawasan terhadap youtube, facebook, dan netflix oleh KPI. Petisi dibuat oleh warganet yang juga politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bernama Dara Nasution. Petisi pun dimuat di laman change.org dan telah ditandatangani oleh 43.583 warganet pada pukul 10 pagi, Sabtu, 10 Agustus 2019.

Dalam penjelasan petisi ini, ada beberapa hal yang membuat rencana KPI ini dinilai bermasalah: Salah satunya karena rencana ini mencederai mandat berdirinya KPI. “Wewenang KPI hanyalah sebatas mengatur penyiaran televisi dan dalam jangkauan spektrum frekuensi radio bukan masuk pada wilayah konten dan media digital,” demikian tertulis dalam penjelasan petisi ini.

Sebab, UU Penyiaran menyebutkan tujuan KPI adalah untuk mengawasi siaran televisi dan radio yang menggunakan frekuensi publik. Pembuat petisi juga mengutip keterangan dalam laman resmi KPI yang berjudul “KPI Tak Melakukan Sensor dan Pengawasan Media Sosial.”

Alasan kedua yaitu karena KPI bukan lembaga sensor. Dalam UU Penyiaran ini, KPI dinilai tidak memiliki kewenangan melakukan sensor terhadap sebuah tayangan dan melarangnya. KPI hanya berwenang menyusun dan mengawasi pelaksanaan P3SPS.

3. Pengawasan ada karena pengaduan

Setelah ramai aksi penolakan, Agung mengatakan rencana ini tidak muncul begitu saja, namun karena adanya pengaduan ke lembaga yang Ia pimpin. “Kami mendapatkan pengaduan masyarakat soal media baru ini,” kata Agung. Pengaduan yang masuk, kata Agung, menyangkut banyak hal seperti perlindungan anak, pornografi, hingga kekerasan.

Sehingga, KPI pun berinisiatif untuk mulai mengawasi tayangan di media-media tersebut. Konten yang akan diawasi oleh KPI juga hanyalah media baru yang bersiaran, tidak semua media sosial. “Yang paling clear, Youtube dan Netflix,” kata dia.

4. Dua tafsir UU Penyiaran

Lebih lanjut, KPI menyadari payung hukum dari kegiatan pengawasan yang mereka lakukan saat ini adalah UU Penyiaran. Namun dalam pasal 1 UU disebutkan bahwa, “penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.”

Nah, istilah media lainnya inilah yang dinilai bisa menjadi dasar dari pengawasan YouTube dan Netflix, meski menggunakan internet, bukan frekuensi radio. Tapi saat ini, Agung menyebut ada dua tafsiran hukum. Tafsiran pertama menyebut media lainnya ini bisa termasuk pada media seperti youtube dan netflix. Sementara, tafsiran kedua menilai keduanya keduanya tidak bisa dikategorikan sebagai media lainnya.

Untuk itu, KPI bakal mengadakan Focus Group Discussion (FGD) setelah 17 Agustus 2019 untuk membahas soal perbedaan pandangan hukum ini. Di sisi lain, agung merujuk pada kegiatan Dewan Pers yang melakukan verifikasi terhadap media online. Menurut dia, Dewan Pers juga memanfaatkan istilah media lainnya untuk mengawasi media online. “Jadi ini kan sudah ada insidennya pada UU Pers,” kata dia.

5. Berkaca pada Australia

Selain itu, Agung mengatakan bahwa pengawasan semacam ini juga merujuk pada Australia yang sudah menerbitkan regulasi media sosial sejak awal 2019. Regulasi ini muncul sebagai buntut dari aksi penembakan yang dilakukan Brenton Tarant di Selandia Baru dan ditayangkan secara live di Facebook, sekitar Maret 2019.

Sehingga, parlemen Australia pun membuat regulasi mengenai tayangan atau konten media sosial agar sesuai dengan nilai-nilai yang disepakati di negara tersebut, “Salah satunya yaitu meminta pejabat eksekutif dari media sosial yang berkantor di Australia untuk menurunkan (take down) konten yang berisi kekerasan.

6. KPI memastikan tidak ada sensor konten

Dalam petisi yang telah mencapai 43 ribu tandatangan, disebutkan bahwa KPI bukan lembaga sensor. Nah, Agung langsung mengklarifikasi dan memastikan lembaganya sama sekali tidak berniat untuk menyensor tayangan yang dinilai tidak sesuai dengan P3SPS. “Kami tidak menyensor, tidak blurring, kata Agung.

Dalam pengawasan nanti, KPI hanya akan berhubungan dengan pejabat eksekutif dari media tersebut, bukan langsung dengan content creator atau pencipta dari tayangan tersebut. Saat ini, KPI tengah mendiskusikan teknis pengawasan dengan perwakilan media ini. Namun, KPI meminta ada perwakilan dari media tersebut yang berkantor di Indonesia untuk memudahkan koordinasi.

7. Tak hanya mengawasi, KPI juga ingin anak-anak jadi content creator

Di sisi lain, Agung mengatakan KPI tidak hanya akan mengawasi tayangan di media baru seperti Youtube maupun Netflix. Lebih dari itu, KPI juga bersiap untuk memperluas literasi digital kepada para pelajar di Indonesia. “Kami ingin ada literasi digital dan dimasukkan ke kurikulum,” kata Agung.

Menurut Agung, fungsi literasi sudah tertuang jelas dalam UU Penyiaran. Sehingga, KPI akan segera berkomunikasi dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy untuk menindaklanjuti rencana ini. “Tujuannya agar anak itu dibekali sensor internal, jadi bisa memilah tontonan sesuai dengan usianya,” kata Agung.

Di sisi lain, KPI juga tak ingin anak-anak Indonesia hanya menjadi objek dari tayangan di Youtube hingga Netflix tersebut. “Hanya viewer terus like,” kata Agung. Lebih dari itu, KPI ingin anak-anak ini bisa menjadi content creator alias pencipta dari konten-konten yang positif. Sehingga, KPI bertekad untuk membangun sebanyak mungkin content creator dari dalam negeri.

8. Kominfo sebut KPI butuh landasan hukum baru

Pelaksana tugas Kabiro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ferdinandus Setu mengatakan KPI tetap memerlukan landasan hukum terlebih dahulu sebelum melakukan pengawasan. “Kalaupun ada niat dari KPI, harus dipastikan bahwa ada regulasi yang mendukung. Kita tahu bahwa UU Penyiaran belum ada yang menyebutkan bahwa fungsi KPI itu termasuk mengawasi konten YouTube maupun Netflix,” ujar Ferdinandus di D’Consulate Lounge, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu 10 Agustus 2019.

Kominfo mendukung rencana KPI. Menurutnya, YouTube dan Netflix memerlukan lembaga pengawas. Sejauh ini Kominfo yang melakukan pengawasan terhadap konten-konten di YouTube. Apabila tugas tersebut akhirnya dibebankan pada KPI, kata Ferdinand, maka perlu dinyatakan dalam UU Penyiaran.

Fajar Pebrianto

Meliput isu-isu hukum, korupsi, dan kriminal. Lulus dari Universitas Bakrie pada 2017. Sambil memimpin majalah kampus "Basmala", bergabung dengan Tempo sebagai wartawan magang pada 2015. Mengikuti Indo-Pacific Business Journalism and Training Forum 2019 di Thailand.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus