Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menerima kunjungan 50 mahasiswa pascasarjana Harvard University, Amerika Serikat di kantornya pada Senin, 9 Januari kemarin. Dalam pertemuan itu, Bahlil menyinggung soal gugatan Uni Eropa melalui WTO (World Trade Organization) atas kebijakan pemberhentian ekspor nikel yang dilakukan RI sejak 2019 lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bahlil berujar kebijakan tersebut dibuat lantaran pemerintah Indonesia tengah fokus pada industri hilirisasi dengan pendekatan energi hijau dan industri hijau. Akan tetapi, kata dia, langkah Indonesia dalam memperjuangkan hilirisasi tersebut tidak sepenuhnya memperoleh dukungan dari negara-negara maju.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya jujur mengatakan, saya bingung dengan cara berpikir dari sebagian negara-negara maju. Ketika Indonesia memperjuangkan untuk hilirisasi memberikan nilai tambah dan kolaborasi dengan pengusaha-pengusaha lokal, sebagian negara-negara tersebut tidak mau," ucap Bahlil, dikutip melalui keterangan tertulis pada Selasa, 10 Januari 2022.
Padahal, menurutnya, negara-negara maju tersebut tahu bahwa salah satu instrumen Indonesia sebagai negara berkembang menuju negara maju adalah hilirisasi industri.
Lebih lanjut, Bahlil memberikan contoh kebijakan yang lebih dulu dilakukan oleh negara-negara maju seperti Inggris, Cina, dan Amerika. Ia menilai hilirisasi di ketiga negara tersebut pun dilakukan demi menjaga kedaulatan industri di negaranya masing-masing.
Pada abad ke-16, tuturnya, Inggris menghentikan ekspor wool sebagai bahan baku tekstil. Begitu juga di Amerika pada abad ke-19 dan 20. Kedua negara itu menggunakan pajak progresif untuk impor dalam rangka menjaga kedaulatan industrinya. Kemudian di Cina pada tahun 80-an, terdapat aturan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) 80 persen. "Industri mereka bagus sekarang,” ujar Bahlil.
Bahlil menilai saat ini sudah saatnya bagi negara maju maupun negara berkembang berkolaborasi atau membangun kerja sama yang baik untuk membangun ekonomi dunia yang lebih adil dan merata. Salah satu solusinya adalah dengan memperhatikan energi hijau dan industri hijau.
Di sisi lain, Bahlil mengaku optimis dengan arah kebijakan investasi di Tanah Air. Ia juga meyakini Indonesia akan menjadi negara hilirisasi di kawasan Asia Tenggara yang fokus pada pengelolaan sumber daya alam.
RIANI SANUSI PUTRI