Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Segini Gaji Hadi Poernomo , Eks Tersangka KPK yang Menjadi Penasihat Khusus Presiden

Melihat komponen penghasilan Hadi Poernomo sebagai Penasihat Khusus Presiden Prabowo Subianto Bidang Penerimaan Negara

13 Mei 2025 | 13.17 WIB

Mantan Ketua BPK Hadi Poernomo, usai menerima penghargaan Bintang Mahaputera Utama, di Istana Negara, Jakarta Pusat, Kamis, 15 Agustus 2019. Tempo/Egi Adyatama
Perbesar
Mantan Ketua BPK Hadi Poernomo, usai menerima penghargaan Bintang Mahaputera Utama, di Istana Negara, Jakarta Pusat, Kamis, 15 Agustus 2019. Tempo/Egi Adyatama

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto menunjuk mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2009-2014 Hadi Poernomo sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Penerimaan Negara. Hal itu tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 45/P Tahun 2025 tentang Pengangkatan Penasihat Khusus Presiden Bidang Penerimaan Negara. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

“Mengangkat Dr. Drs Hadi Poernomo, S.H., Ak., C.A., M.B.A., sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Penerimaan Negara, dan kepada yang bersangkutan diberikan hak keuangan dan fasilitas lainnya setinggi-tingginya setingkat dengan jabatan menteri,” demikian petikan Keppres yang diterima Tempo. Lantas, berapa gaji yang bakal diterima Hadi Poernomo? 

Gaji Penasihat Khusus Presiden

Sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Penerimaan Negara, Hadi Poernomo mendapatkan penghasilan seperti menteri negara. Ketentuan pemberian gaji pokok (gapok) menteri diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2000 tentang Perubahan atas PP Nomor 50 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Menteri Negara dan Bekas Menteri Negara serta Janda/Dudanya Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan PP Nomor 18 Tahun 1993, yaitu sebesar Rp 5.040.000 per bulan. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak hanya gapok, menteri negara juga memperoleh tunjangan jabatan. Nominal tunjangan jabatan menteri termaktub dalam Keppres Nomor 68 Tahun 2001 tentang Tunjangan Jabatan Bagi Pejabat Negara Tertentu, yaitu Rp 13.608.000 per bulan. 

Selain itu, menteri juga mendapatkan dana operasional yang disediakan untuk menunjang kegiatan yang bersifat strategis dan khusus. Penyerahan dana operasional menteri negara diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 268/PMK.05/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Dana Operasional Menteri/Pimpinan Lembaga. 

Dana operasional sebesar 80 persen diberikan secara lump sum atau dilakukan pembayaran sekaligus kepada menteri. Sementara 20 persen sisanya dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan operasional lainnya. 

Kemudian, menteri negara juga mendapatkan tunjangan kinerja (tukin) yang besarannya berbeda-beda di setiap kementerian. Terdapat pula fasilitas lain yang disediakan negara untuk menteri, misalnya kendaraan dinas, rumah jabatan, jaminan kesehatan, tunjangan hari raya (THR) keagamaan atau gaji ke-14, dan gaji ke-13. 

Dengan demikian, seorang menteri negara sekurang-kurangnya mengantongi penghasilan sebesar Rp 18.648.000 per bulan, yang berasal dari gapok dan tunjangan jabatan. Angka itu bisa lebih tinggi mengingat komponen hak keuangan dan fasilitas menteri negara yang beraneka ragam jenisnya. 

Harta Kekayaan Hadi Poernomo

Mengutip Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara elektronik (e-LHKPN) yang dilihat dari laman Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Hadi Poernomo terpantau pertama kali menyampaikan jumlah hartanya ketika menjabat sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu), yaitu sebesar Rp 12.119.379.000 per 6 Juli 2001. 

Selanjutnya, dia kembali menyerahkan LHKPN dengan total mencapai Rp 26.625.814.000 per 14 Juni 2006. Dia juga melaporkan jumlah kekayaannya ketika menjadi Ketua BPK, dengan nominal sebesar Rp 38.800.979.805 per 9 Februari 2010. 

Adapun LHKPN terakhir yang dilaporkan Hadi, yaitu pada Jumat, 20 Juni 2014 dengan jumlah mencapai Rp 37.092.266.445, sebelum akhirnya terseret dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait permohonan keberatan pajak yang diajukan oleh seperti PT Bank Central Asia Tbk atau BCA periode 1999-2003. Dia sempat ditetapkan sebagai tersangka pada April 2014, dalam kapasitasnya sebagai Dirjen Pajak periode 2002-2004. 

Hadi keberatan atas penetapan tersangka dalam kasus yang merugikan negara sebesar Rp 375 miliar itu. Dia pun mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Pada 26 Mei 2016, hakim tunggal praperadilan PN Jakarta Selatan Haswandi mengabulkan permohonan Hadi dan mencabut statusnya sebagai tersangka. 

KPK mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung (MA). Namun, pada Juni 2016, MA menolak upaya luar biasa itu karena jaksa tidak berwenang mengajukan peninjauan kembali. 

Endri Kurniawati dan Maya Ayu Puspitasari berkontribusi dalam penulisan artikel ini. 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus