Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARGA minuman ringan dan bir dalam kaleng bakal naik. Tanri Abeng, presiden direktur PT Multi Bintang, pekan lalu, sudah mengisyaratkan kemungkinan itu gara-gara harga kaleng kemasannya naik cukup tinggi. Sejak awal September lalu, penghasil Bir Bintang ini harus menebus kaleng kemasan dengan harga Rp 170, atau 28% lebih tinggi dari sebelumnya yang Rp 133. "Mau berbuat apa lagi kecuali menaikkan harga, sekalipun tidak sebesar persentase kenaikan harga kaleng kemasan," katanya. Penyesuaian harga tampaknya tidak terelakkan karena separuh dari biaya produksi untuk minuman ringan habis disedot untuk membeli kemasannya. Tapi Soedjono Respati, direktur utama PT Delta Djakarta, masih belum bisa memastikan apakah minuman ringan dan bir kalengannya akan naik. "Kami sulit menaikkan harga karena konsumen tidak akan sanggup menanggungnya," ujarnya. "Sekarang saja permintaan pasar tidak meningkat, apalagi kalau harganya dinaikkan." Dua tahun terakhir ini, memang, konsumsi bir turun hampir 20%. Tahun lalu, misalnya, penjualan semua pabrik bir hanya 700 ribu hektoliter, padahal pada 1982 masih 800 ribu hektoliter. Posisi Delta sendiri cukup rawan: sampai Agustus (delapan bulan) penjualannya baru 160 ribu hektoliter, sementara sasarannya 250 ribu hektoliter. Hanya Bintang yang, agaknya, cukup mantap melakukan penyesuaian diri. Penjualan birnya, sampai semester pertama tahun ini, sudah 185 ribu hektoliter (termasuk bir hitam Guiness). Sekitar 15% hasil penjualan perusahaan berasal dari minuman ringan dan bir kalengan. Kebutuhan akan kaleng kemasan Bintang setiap bulan mencapai 1,5 juta buah, sedang Delta sekitar 1,25 juta. Secara terbuka, Abeng menyebut harga kaleng kemasan eks Singapura sesungguhnya sangat murah: Rp 75 per buah. Tapi, karena mengimpor kaleng kemasan tidak diperbolehkan, Bintang dan Delta akhirnya harus membelinya dari pabrikan lokal. Sebuah perusahaan makanan kaleng terpaksa juga melakukan pembelian itu, sesudah pemerintah melarang tiga pabrik kaleng kemasannya mengimpor bahan baku pembuatan kemasan berupa pelat timah (tin plate), sejak April lalu. Kalau mereka butuh bahan baku, harus membelinya lewat PT Kemas Inti. Sialnya, harga pelat timah dari situ 30% lebih mahal, dan pembayarannya harus secara tunai. Padahal, jika perusahaan makanan kaleng ini mengimpor pelat timah langsung dari Jepang, penjual akan memberi kemudahan: pembayaran bisa dilakukan dengan kredit tiga bulan. Tingginya harga pelat timah itu tentu menyebabkan biaya kaleng kemasan di situ jadi mahal - sekitar 47% dari harga pokok makanan kalengan. "Tapi di luar negeri biaya kemasan itu hanya sekitar 15%. Ada yang menduga, semua itu berpangkal dari PT Latinusa (Pelat Timah Nusantara) penghasil satu-satunya pelat timah di sini yang, pekan lalu, secara simbolis meresmikan produksi komersialnya. Menurut Ibnu Bangsawan, direktur Latinusa, harga pelat timah standar keluaran perusahaannya, dengan ketebalan 0,22 mm, hanya US$ 729 per metrik ton. Tingkat harga ini dianggap Ibnu cukup murah dibandingkan pelat timah di Jepang, dengan ketebalan 0,24 mm, yang berharga 184 ribu yen per metrik ton. Tapi harga di Tokyo itu akan terasa murah, jika suatu saat nilai dolar menguat terhadap yen - apalagi jika pelat timah yang dibandingkan ketebalannya sama. Yang menjadi tanda tanya mengapa harga kaleng kemasan yang dihasilkan PT United Can Co. dan Sinar Terang lebih mahal dibandingkan barang serupa eks impor. Manajemen kedua pabrik itu tak menjelaskannya. Tanri Abeng, hanya meminta agar kenaikan biaya tidak dibebankan seluruhnya pada industri hilir sebagai pemakai akhir. "Kalau faktor biaya itu dilemparkan ke pasar, konsumen juga yang akan menanggungnya," ujar Abeng. Soalnya lalu dari mana pengurangan biaya itu harus dimulai?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo