Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRAJOGO Pangestu, raja kayu yang kelak juga barangkali akan menjadi raja pulp dan raja mobil, semakin merebut, bahkan menyita perhatian orang. Padahal, dia bukan tipe Donald Trump yang haus publisitas. Dia juga bukan lulusan Harvard Business School.
Dari jenjang bisnis paling bawah sampai mulai ''berkibar-kibar'' (sekitar tahun 1986), ia bersih dalam pengertian tidak menikmati fasilitas apa pun. Dengan catatan rekor yang hampir-hampir tidak tercela apalagi ukuran pengusaha jalur cepat adalah sangat ironis kalau selama satu bulan terakhir ini nama Prajogo dikaitkan dengan isu-isu berbisa.
Mula-mula ada daftar bocoran kredit macet perusahaannya, Barito Pacific, dicantumkan sebagai penunggak utang terbesar. Kini namanya dilibatkan dalam gunjingan sekitar kolusi antara pengusaha, pejabat pemerintah, dan badan usaha miliki negara (PT Taspen).
Dengan membeli saham William Soeryadjaya di Astra, Januari lalu, Prajogo sudah membuat lompatan berarti. Kini ia akan memulai etape baru berupa rencana besar meluncurkan PT Barito Pacific Timber (BPT) ke pasar modal. Puncak dari persiapan ke arah itu adalah public expose atau semacam pesta perkenalan BPT yang diadakan di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Rabu pekan silam.
Pada acara yang begitu penting itu, Prajogo tak lupa mengemukakan tiga pernyataan yang dibuat bank-bank pemerintah. Isinya berupa penjelasan bahwa kredit Barito di ketiga bank tersebut Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) tak pernah macet.
Tindakan yang seakan mengajukan alibi itu telah memancing banyak tanggapan. Masalahnya, ''surat bukti bersih'' itu sengaja dibuat atas permintaan debitur untuk membersihkan namanya. Tujuannya, tentu, untuk menyatakan bahwa pinjaman Barito kepada bank tersebut selalu dibayar lancar. Padahal, ''Itu kan hanya siasat dia (maksudnya Prajogo) untuk mencuci muka,'' kata seorang pengamat ekonomi.
Serentak dengan perlakuan istimewa bank-bank pemerintah itu, Prajogo juga diguncang perkara aset Barito dan penyertaan modal PT Taspen sebesar US$ 185 juta atau sekitar Rp 375 miliar. Penyertaan modal yang terjadi sejak akhir Februari itu diduga sebagai kiat BPT untuk memperbagus penampilan perusahaan (company profile) sebelum masuk bursa, insya Allah akan dilakukan dalam tempo satu bulan sejak sekarang.
Sebelum itu, Prajogo sudah disibukkan oleh isu tentang hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI), yang oleh kalangan DPR ditentang keras karena dimasukkan sebagai aset dalam prospektus BPT. Alasan utamanya, hutan adalah milik Pemerintah yang mewakili seluruh rakyat Indonesia. Juga di dalam HTI terkandung modal Pemerintah yang tidak kecil (60 persen).
Dalam bantahannya Prajogo mengatakan, ''Kalau saya memasukkan HPH atau HTI sebagai aset, itu sama saja dengan menjual tanah air.'' Memang, konsesi hutan yang dikuasai Grup Barito adalah yang terbesar, sekitar 5,5 juta hektare atau seperenam dari total hutan konversi Indonesia yang 30 juta hektare lebih.
Lantas apa yang akan dimasukkan Prajogo sebagai aset BPT? Kepada TEMPO ia mengungkapkan, kekayaan BPT akan berupa semua biaya operasi yang telah dikeluarkan untuk menggarap HPH, misalnya ongkos pembukaan hutan, pembangunan barak-barak pekerja, serta pembuatan jalan dan jembatan. Jawaban itu jauh dari memuaskan.
Soalnya, bagaimana cara BPT menghitung berbagai biaya yang dikeluarkan sejak 20 tahun lalu. Dan apa mungkin itu dimasukkan sebagai aset? Seorang pengusaha kayu lapis yang cukup kondang membuat perumpamaan begini. Taruhlah, ketika pertama kali mengeksploitasi hutan, Barito sudah mengeluarkan dana Rp 10 miliar untuk membabat sebidang lahan HPH.
Layaknya, kata sumber tersebut, biaya tersebut tak lagi patut dimasukan sebagai aset. Alasannya sederhana. Biaya tersebut sudah habis, dan hutan yang digarapnya pun sudah tak menghasilkan apa-apa lantaran kayunya tak ada lagi.
Nah, perkara aset belum selesai yang kini masih diteliti oleh Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) muncul isu penyertaan dana Taspen. Walaupun dana Taspen sekitar Rp 1,2 triliun tersalur ke 14 perusahaan, di antara mereka BPT menonjol karena memperoleh kucuran paling banyak (Rp 375 miliar).
Selain itu, ''Dana ini menyangkut uang milik pegawai negeri yang dikuasakan kepada Pemerintah,'' kata Budi Hardjono, Wakil Ketua Komisi VI DPR-RI. Apalagi, demikian Budi menduga, dana Taspen itu diserahkan hanya beberapa bulan sebelum public expose BPT pekan lalu.
Wajar jika ada yang menaruh syak wasangka bahwa penyertaan dana Taspen sengaja dilakukan untuk mendongkrak permodalan perusahaan tersebut, yang ujung-ujungnya bisa mendongkrak harga jual saham. ''Ini kan tidak benar,'' ujar Budi, agak berang.
Suara senada dikemukakan oleh pengamat dan pakar Kwik Kian Gie. Katanya, penyertaan dana Taspen ke BPT menunjukkan perusahaan itu sedang membutuhkan dana segar dengan segera. Diakui oleh Kwik, penyuntikan dana oleh Taspen tidak bisa digolongkan sebagai insider trading, seperti yang digunjingkan kalangan bursa.
Memang, SK Menkeu No. 1548/1990 jelas-jelas menyebutkan bahwa yang namanya insider trading hanyalah berlaku bagi perusahaan yang sudah masuk bursa. Namun, karena saat penyuntikan dan penjualan saham di bursa begitu dekat, ''Bukan mustahil pihak Taspen sudah dibisiki bahwa saham yang dibelinya akan mendatangkan untung yang cukup besar,'' kata Kwik menduga-duga.
Sesuai dengan perjanjian, dana Taspen tersebut akan diganti dengan 125 juta lembar saham Barito. Dengan kata lain, BUMN ini hanya membeli saham BPT dengan harga Rp 3.000 per lembar. Sementara BPT mengusulkan penjualan 60.00090.000 sahamnya di bursa efek dengan harga sekitar Rp 6.000.
''Seharusnya Barito tidak bertindak begitu,'' ujar J.A. Sereh, pengamat sekaligus pelaku di bursa saham. Katanya, jika mau menjual saham di bursa, ya lakukan semuanya di sana. Tegasnya, jangan sebagian dijual di luar bursa. Di sisi lain, dipertanyakan mengapa penempatan dana itu seperti dilakukan dengan tergesa-gesa, yakni hanya beberapa pekan sebelum Menteri Keuangan Sumarlin meletakkan jabatannya.
Mengenai satu hal ini, Sumarlin menyangkal dengan keras. ''Itu sama sekali tidak benar,'' sergahnya kepada Linda Djalil dari TEMPO. ''Prosesnya sudah cukup lama, tiga tahun. Kalau terburu- buru, mengapa saya tidak kasih izin dalam tempo satu minggu saja?'' (baca juga wawancara Sumarlin).
Tak kurang penting adalah keyakinan Sumarlin bahwa uang Taspen yang ditanamkan di BPT aman-aman saja. ''Semua sudah diperhitungkan, dan Taspen tak akan rugi serupiah pun,'' katanya. Pernyataan itu belum menjamin bahwa saham BPT jika kelak jadi masuk bursa akan laris manis alias blue chip. Karena itu, Budi Hardjono tampaknya ingin mengajak masyarakat agar waspada.
Barito Pacific Timber, misalnya, dalam beberapa tahun terakhir memang selalu melaba (dari omset rata-rata Rp 150 miliar sebulan), tapi aset dan jumlah utangnya harus jelas. Ini penting karena dalam beberapa tahun terakhir Prajogo Pangestu telah melakukan sejumlah transaksi yang melibatkan dana cukup besar.
Ia dikabarkan pernah menyuntik Bank Duta yang kolaps dengan dana segar US$ 250 juta. Demi pabrik olefin Chandra Asri, Prajogo juga telah mencatat utang di Bank Bumi Daya sebesar US$ 218 juta. Terakhir, ia telah menutup 10 juta lembar saham Astra senilai Rp 100 miliar.
Belakangan, tersiar kabar bahwa untuk membeli saham Astra, Prajogo meminjam dari sebuah bank pemerintah. Isu tersebut dibantah oleh Prajogo. Ia juga menyangkal ketika ditanya tentang isu kredit macet BPT. Bantahan seperti itu tentu tidak memadai untuk bisa transparan di pasar modal.
Dalam public expose, Prajogo memang sudah mencoba transparan dengan merinci kegunaan dana yang akan ditangguknya dari bursa sebanyak Rp 620 miliar itu. Dari dana tersebut, sebanyak 20 persen akan digunakan sebagai pembayar utang. Sisanya yang 55 persen untuk membangun industri pulp dan kertas di Sumatera Selatan, dan 25 persen untuk mengembangkan hutan tanaman industri.
Keuangan BPT berkat suntikan dana Taspen diperkirakan akan semakin cantik. Paling tidak di mata bank dan kreditur. Dengan suntikan Taspen itu, komposisi utang dan modal (debt equity ratio alias DER) berubah dari 2,3:1 menjadi 1:1. Jika, katakanlah, rencana masuk bursa itu berjalan mulus, utang Barito tinggal 30 persen (sekitar Rp 284,5 miliar) dan debt equity ratio-nya menjadi 1:0,4.
Bandingkan dengan Weyerhaeuser, perusahaan kayu terbesar dunia yang telah masuk bursa yang DER-nya 3,9. Selain itu, dalam analisa seorang pialang sekaligus penjamin emisi, setelah masuk bursa, keuntungan BPT (return on asset) yang semula cuma 4,5 persen naik menjadi 16 persen pada Desember 1993.
Kenaikan yang fantastis ini tentu akan melambungkan harga saham BPT di pasar modal. Pialang ini memperkirakan, harganya akan melonjak dua kali menjadi Rp 12 ribu per lembar. ''Tak heran bila investor asing berebut ingin memiliki saham Barito,'' katanya. Tapi, begitu banyak yang yakin, begitu banyak pula yang ragu. Mengapa?
Grup Barito memayungi banyak perusahaan (kurang lebih 180 perusahaan) dan Prajogo sendiri terlibat berbagai proyek yang membutuhkan dana cukup besar. ''Bukan mustahil, dana dari bursa nantinya akan disalurkan ke proyek-proyek di luar Barito Pacific Timber,'' kata seorang pengamat.
Prajogo lagi-lagi membantah, dengan alasan bahwa tiap perusahaan memiliki manajemen sendiri-sendiri. Tapi, siapa yang bisa melacak isi perusahaan orang lain? Yang pasti, kredibilitas Prajogo sebagai konglomerat akan diuji di Bursa Efek Jakarta. Laris atau tidak saham BPT akan menjadi indikator bagi bonafiditas Prajogo.
Sementara itu, J.A. Sereh berpendapat, batu ujian bagi BPT akan ditentukan oleh investor asing. Alasannya, investor asing tidak mudah termakan isu dan bisa lebih dingin. Patokan mereka hanya pada angka-angka dan analisa data. ''Jadi, kita lihat saja buktinya di bursa,'' kata Sereh, akhirnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak artikel ini terbit di bawah judul "Dua Jurus Prajogo, Taspen dan Bursa".
Budi Kusumah, Bambang Aji, Ivan Haris, Sri Wahyuni, dan Wahyu Muryadi berkontribusi dalam penulisan artikel ini.