Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dua Matahari di Bank Indonesia

Langkah Miranda S. Goeltom ke jabatan Deputi Gubernur Senior BI tak terhadang. Mungkin akan ada dua "matahari".

7 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PESAN pendek itu datang dari nomor telepon seluler salah seorang pimpinan Komisi Keuangan dan Perbankan DPR RI. Isinya singkat, tapi membuat terkesiap: "Di Hilton 1301 sedang terjadi money politics untuk DGS BI mendukung satu calon tertentu." Penasaran akan maksud pesan pendek itu, TEMPO menghubungi pengirim pesan.

Di seberang, terdengar suara wakil rakyat yang sudah dikenal TEMPO. Dengan lugas ia menuturkan bahwa pertemuan di satu kamar Hotel Hilton itu merupakan ajang seorang kandidat Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) mencari dukungan dari beberapa anggota DPR. Keterangan senada datang dari pesaing kandidat tersebut. Sayang, kedua sumber menolak diungkap jatidirinya.

Kasak-kusuk dan perang saraf seperti terungkap dalam pesan pendek itu memang mewarnai pemilihan Deputi Gubernur Senior BI. Seiring dengan usainya masa tugas Anwar Nasution akhir Juli mendatang, sesuai dengan Undang-Undang Bank Sentral, Presiden Megawati Soekarnoputri pertengahan Februari lalu telah mengajukan tiga kandidat pengganti. Mereka adalah Hartadi A. Sarwono, Miranda S. Goeltom, dan S. Budi Rochadi.

Ketiganya merupakan pejabat dan bekas pejabat tinggi di bank sentral. Hartadi saat ini masih deputi gubernur, Budi Kepala Kantor Perwakilan BI di Tokyo, Jepang, sedangkan Miranda pernah menjadi deputi gubernur. Saat ini ketiga kandidat sedang menjalani uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di Komisi Keuangan dan Perbankan DPR.

Sedianya penentuan pemenang diumumkan Selasa pekan lalu. Namun, karena pada saat yang sama Komisi Keuangan dan Perbankan sedang sibuk memproses pemilihan pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), penentuan pemenang baru akan ditetapkan Selasa pekan ini.

Menurut penelusuran TEMPO, Miranda tampaknya berada di atas angin ketimbang dua kandidat lainnya. Doktor ekonomi lulusan Boston University, Amerika Serikat, itu hampir pasti mendapat sokongan seluruh anggota Fraksi Partai Golkar dan sebagian besar anggota Fraksi PDI Perjuangan di Komisi Keuangan dan Perbankan DPR.

Sinyal dukungan Golkar sudah tersirat jauh sebelum proses uji kepatutan dan kelayakan. Tak tanggung-tanggung, isyarat datang langsung dari bos Partai Beringin, Akbar Tandjung. Sejak tiga bulan lalu, Akbar mengatakan Miranda paling memenuhi persyaratan dibandingkan dengan dua kandidat lain. "Kalau dilihat dari pengalaman berkecimpung di BI, Miranda Goeltom pilihannya," katanya.

Dukungan Golkar tentu tak dilakukan percuma. Sumber TEMPO menyebut sokongan itu tak lepas dari rencana seorang kader Golkar membeli Bank Permata, yang kini 51 persen sahamnya sedang ditawarkan oleh pemerintah. Bila Miranda terpilih, ia diharapkan ikut memuluskan rencana pembelian itu.

PDI Perjuangan mendukung Miranda lebih karena alasan historis. Mereka pernah gagal mengantar Miranda menjadi Gubernur BI pada Mei 2003. Ketika itu Miranda kalah dari Burhanuddin Abdullah. Kini, mereka tak ingin pengalaman pahit itu terulang. "Di mata saya, dia tetap kandidat paling bagus," kata Max Moein, pentolan PDI Perjuangan di Komisi Keuangan dan Perbankan.

Berbeda dengan Max yang terang-terangan, Emir Moeis, Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan yang juga berasal dari PDI Perjuangan, memilih lebih berhati-hati. "Semua kandidat bagus," ujarnya, "Siapa yang bakal terpilih, tunggu saja pemungutan suara hari Selasa."

Bila dukungan dua fraksi besar itu terwujud, Miranda jelas tak terhadang menduduki kursi nomor dua di bank sentral. Soalnya, di Komisi Keuangan dan Perbankan DPR, partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu memiliki 17 anggota, sementara Golkar 15 anggota. Total mereka menguasai 32 kursi. Angka ini sudah melebihi setengah jumlah anggota komisi, yang 56 orang.

Isyarat dukungan tentu membuat Miranda happy. Kendati demikian, ibu dua anak yang sadar fashion ini tetap berusaha menyembunyikan perasaannya. Tak lupa ia membantah praktek politik uang dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI ini. "Ada banyak hal penting lain yang mesti saya lakukan," ujarnya melalui sambungan telepon, "Saya tak sempat kalau harus begitu."

Toh, kuatnya angin ke arah Miranda tak membuat Budi Rochadi patah semangat. "Saya dianggap underdog, malah bagus," ujarnya dengan suara datar. Sudah rahasia umum, dalam perebutan posisi deputi gubernur senior ini yang bertarung sesungguhnya cuma dua orang, yakni Miranda dan Budi. Adapun Hartadi, yang kini sudah Deputi Gubernur BI, dianggap lebih sebagai penggembira.

Budi, yang dekat dengan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, sejauh ini baru didukung anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa, yang berjumlah lima orang. Namun, Budi optimistis bisa mendulang dukungan tambahan dari fraksi lain di luar Golkar. "Saya bisa mendapat tambahan suara dari PDI Perjuangan, Fraksi Persatuan Pembangunan, dan fraksi-fraksi lain," ujarnya.

PDI Perjuangan? Ya. Soalnya, semasa muda, Budi aktif dalam Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI), organisasi mahasiswa onderbouw Partai Nasionalis Indonesia (PNI), cikal-bakal PDI Perjuangan. Dengan modal itu, ia yakin bisa mendekati anggota PDI Perjuangan yang berasal dari kelompok nasionalis.

Dibandingkan dengan kandidat lain, Budi juga lebih giat melakukan pertemuan dengan anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR. Ia berkilah perlu melakukan itu karena selama ini tersingkir dari BI sehingga tak banyak dikenal orang. Sedangkan kandidat lain, lantaran tugas-tugasnya, relatif sudah lebih akrab dengan para wakil rakyat di Senayan.

Praktis, Budi sudah bertemu dengan anggota komisi dari semua fraksi, kecuali Partai Beringin. "Golkar sepertinya sudah menarik garis dengan saya," katanya. Budi boleh optimistis, tapi sepertinya ia perlu siap kecewa. Tak semua fraksi yang ia datangi bakal menyambut uluran tangannya. Dengar saja komentar Rizal Djalil dari Fraksi Reformasi. Kendati tak mendukung Miranda, Rizal mengisyaratkan tak akan memilih Budi.

Di mata Rizal, baik Miranda maupun Budi memiliki kontroversi. Bila memilih Miranda, katanya, "DPR seperti menjilat ludahnya sendiri." Soalnya, dulu DPR menolak Miranda menjadi Gubernur BI dengan alasan rendahnya integritas yang bersangkutan (lihat boks). Di luar soal track record, Rizal mengkhawatirkan, bila Miranda terpilih, ketidakkompakan di tubuh Dewan Gubernur BI akan kian meruyak.

Betul, Miranda sudah menjanjikan bisa bekerja sama dengan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah. Tapi Rizal ragu kerja sama itu bisa betul-betul mulus. Miranda, yang punya kelebihan di bidang kebijakan moneter, dikhawatirkannya akan lebih sering bertindak menjadi juru bicara BI ketimbang Burhanuddin. Akibatnya? "Akan ada dua matahari di BI," Rizal bertamsil.

Adapun Budi dinilainya terlalu bergantung pada Burhanuddin. Atas pertimbangan itu, Fraksi Reformasi, kata Rizal, akan memilih kandidat yang tak memiliki kontroversi, yaitu Hartadi Sarwono. "Orang yang tak suka pada Miranda dan Budi akan memilih Hartadi," ujarnya. Lain lagi pendapat Faisal Baasir dari Partai Persatuan Pembangunan. Situasi menjelang berakhirnya masa jabatan anggota DPR dan berlangsungnya pemilihan presiden, menurut dia, tak tepat untuk memilih Deputi Gubernur Senior BI.

Sudah bukan rahasia, kata Faisal, bahwa anggota DPR diminta partainya mencari dana untuk membantu kampanye pemilihan presiden. Karena itu, ia merasa risi dan enggan melanjutkan proses pemilihan Deputi Gubernur Senior BI karena banyaknya isu negatif. "Seolah-olah kami memperjualbelikan jabatan," ujarnya.

Faisal mengusulkan, kalau bisa, pemilihan ditunda dan diserahkan kelanjutannya kepada anggota DPR baru hasil pemilu legislatif kemarin, yang akan dilantik pada pertengahan September mendatang. Lagi pula Anwar Nasution secara resmi baru akan meninggalkan posisinya pada akhir Juli. "Kalau pada saat itu deputi gubernur senior yang baru belum terpilih, ya, kosongkan saja posisi itu untuk sementara," kata politisi senior yang berencana pensiun ini.

Sayangnya, "ijtihad" Faisal tampaknya bakal membentur tembok. Pagi-pagi Emir Moeis sudah mengisyaratkan usulan itu sulit dilaksanakan. "Kalau mayoritas anggota komisi tetap ingin melanjutkan pemilihan, saya tak bisa menolak," katanya. Nah, kalau pemilihan tetap dilanjutkan, bukankah sudah bisa ditebak siapa yang bakal keluar sebagai pemenang?

Nugroho Dewanto, Y. Tomi Ariyanto


Profil Kandidat

Miranda S. Goeltom
SOSOK Miranda, 55 tahun, tak asing lagi di lingkungan BI. Kendati tak menapaki karier dari bawah, ia cepat beradaptasi dengan birokrasi bank sentral, dan relatif tak pernah terdengar bersilang pendapat dengan para koleganya. Ia juga dianggap berjasa meletakkan fondasi kebijakan moneter yang mampu menjinakkan inflasi dan menstabilkan nilai tukar rupiah.

Namun, Miranda bukannya tanpa catatan. Ia dianggap mengetahui terjadinya penyelewengan dana rekening 502, yang biasa digunakan untuk menjamin dana nasabah bank yang dibekukan. Polisi sempat memeriksanya sebagai saksi. Sebelum mengikuti "kontes" deputi gubernur senior, Miranda dicalonkan Presiden Megawati Soekarnoputri menjadi Gubernur BI. Tapi, akhirnya Burhanuddin Abdullah yang terpilih.

Hartadi Agus Sarwono
MENITI karier sejak awal di Bank Indonesia, Hartadi, 52 tahun, dikenal sebagai salah satu pawang moneter andalan bank sentral. Maklum, selama 15 tahun terakhir ia terus-menerus bergelut dalam riset ekonomi, statistik, dan kebijakan moneter?bidang yang kerap dianggap sebagai "otak" bank sentral.

Hartadi pernah menjadi kepala bagian ekonomi umum (1994), deputi kepala urusan ekonomi statistik dan moneter (1998), dan direktur riset ekonomi dan kebijakan moneter. Sempat menjadi Kepala Kantor Perwakilan BI di Tokyo, Jepang, ia pulang ke Tanah Air untuk mengemban tugas Deputi Gubernur BI Bidang Kebijakan Moneter sejak Mei 2003.

Kini, bagaimana persiapannya menjadi Deputi Gubernur Senior BI? "Biasa saja, seperti bila saya menjalankan tugas," kata Hartadi merendah seperti dikutip Koran Tempo. Ia memang mengaku tak terlalu berambisi untuk jabatan itu.

S. Budi Rochadi
DI masa "rezim" Syahril Sabirin berkuasa, Budi, 53 tahun, seperti penderita lepra. Ia tak disukai karena kerap mengkritik berbagai kebijakan dewan gubernur. Sempat menjadi kepala urusan (sekarang setingkat direktur) pengawasan bank, karier Budi kemudian tersendat.

Ketika ditugasi menjadi Kepala BI di Semarang dan Medan, Budi merasa menjalani "pembuangan". Apalagi ketika kemudian ia ditempatkan di jajaran staf ahli dewan gubernur?posisi yang tinggi tapi sebetulnya nyaris tanpa wewenang sama sekali. Bintang Budi baru bersinar kembali ketika Burhanuddin Abdullah menjadi Gubernur BI. Ia ditunjuk menjadi Kepala Kantor Perwakilan BI di Tokyo, menggantikan Hartadi Sarwono yang naik menjadi deputi gubernur.

Dari posisi itulah kini Budi mencoba merangkak naik. Namun, ia sadar, bertahun-tahun berada di pinggir lapangan membuatnya tak banyak dikenal orang. Karena itu, ia rajin menyambangi para anggota DPR menjelang pemilihan Deputi Gubernur Senior BI. "Saya hanya mencoba mengenalkan diri," ujarnya.

Ke Mana Arah Dukungan?
(Perkiraan Dukungan)

Hartadi Agus Sarwono
Fraksi Reformasi (5 orang)

Miranda S. Goeltom
Fraksi Partai Golkar (15 orang)
Sebagian besar Fraksi PDI Perjuangan (17 orang)

S. Budi Rochadi
Fraksi PKB (5 orang
Sebagian kecil Fraksi PDI Perjuangan

Belum Jelas Arah Dukungan
Fraksi PPP (7 orang)
Fraksi PBB (1 orang)
Fraksi KKI (1 orang)
Fraksi PDU (1 orang)
Fraksi TNI/Polri (4 orang)

ND

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus