Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Ekonom Ini Wanti-wanti RI Bisa Rugi Rp 103 Triliun PDB jika RPP Kesehatan Disahkan

Peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus angkat bicara soal dampak regulasi soal rokok yang semakin ketat. Salah satunya tertuang dalam RPP Kesehatan.

20 Desember 2023 | 21.10 WIB

Pekerja mengerjakan pelintingan rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) di salah satu pabrik rokok di Kudus, Jawa Tengah, Jumat, 4 November 2022. Kenaikan itu berlaku pada golongan Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Mesin (SPM), dan Sigaret Kretek Tangan (SKT) akan berbeda sesuai dengan golongannya. ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho
Perbesar
Pekerja mengerjakan pelintingan rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) di salah satu pabrik rokok di Kudus, Jawa Tengah, Jumat, 4 November 2022. Kenaikan itu berlaku pada golongan Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Mesin (SPM), dan Sigaret Kretek Tangan (SKT) akan berbeda sesuai dengan golongannya. ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Center of Industry, Trade and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus angkat bicara soal regulasi soal rokok yang semakin ketat. Teranyar, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai Pengamanan Zat Adiktif (RPP Kesehatan) yang tengah digodok nantinya akan khusus mengontrol produksi, penjualan, hingga pemasaran produk hasil tembakau.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Beleid itu merupakan bagian turunan dari Undang-Undang (UU) No 17 tahun 2023 tentang Kesehatan. Dalam hitungannya, Heri memperkirakan pengetatan aturan rokok dalam RPP Kesehatan berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi mencapai Rp 103,08 triliun. "Secara makro dan agregat," katanya, pada Rabu, 20 Desember 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rinciannya adalah Rp 79,06 triliun kerugian dari aturan jumlah kemasan, Rp 19,63 triliun besar kerugian dari aturan pemasangan produk, dan Rp 4,39 triliun adalah kerugian dari pembatasan iklan tembakau.

Heri menjelaskan, kerugian ekonomi yang signifikan ini dipicu oleh penurunan permintaan produksi di sektor industri hasil tembakau (IHT), yang berdampak merembes ke sektor-sektor lain dari hulu ke hilir. "Sehingga secara agregat nilai PDB bisa tergerus hingga Rp 103 triliun. Jadi multiplier effect-nya cukup besar," tuturnya.

Namun, dalam paparannya, Heri juga menjelaskan jika RPP Kesehatan memiliki potensi untuk menghemat biaya kesehatan sebesar Rp 34,1 triliun dari total pengeluaran, termasuk biaya kesehatan dan non-kesehatan. "Jika kebijakan ini diterapkan, disinyalir akan menghemat biaya kesehatan Rp 34 triliun, tetapi di sisi lain malah ada loss ekonomi Rp 103 triliun. Jadi hematnya tidak seberapa," 

Dalam laporan Indef juga disebutkan potensi hilangnya penerimaan perpajakan secara kumulatif. Dari tiga skenario yang dipertimbangkan, penerimaan pajak disimpulkan akan berpotensi turun sebesar Rp 52,8 triliun.

Dalam aspek industri, implementasi Rencana Pengembangan Pekerjaan Kesehatan dapat mengurangi produksi rokok sebesar 26,49 persen, yang juga diikuti oleh penurunan tingkat pekerjaan sebesar 10 persen. 

"Kita ingin mengedepankan kesehatan, tapi tentunya tidak dengan cara yang sporadis seperti itu, karena akan menimbulkan guncangan yang lebih besar di sisi ekonomi," ucap Heri.

Sementara itu, Juru Bicara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Yustinus Prastowo, menyatakan Kemenkeu menjadi salah satu unit yang diajak dalam pembahasannya. Pihaknya, telah memberikan masukan sesuai dengan porsi tugas dan fungsi kementeriannya. Masukan tersebut seperti mengenai pengaturan cukai yang efektif selama ini, juga penindakan terhadap rokok ilegal, serta besaran tarif cukai.

“Selebihnya kita serahkan kepada kementerian lain, termasuk Kemenperin (Kementerian Perindustrian), Kemenkes (Kementerian Kesehatan) dalam hal ini untuk mengatur,” ujar Prastowo di Hotel Four Season, Jakarta Selatan, pada Selasa, 28 November 2023.

Namun, kata dia, Kementerian Keuangan meyakini cukai itu instrumen yang selama ini cukup efektif untuk menekan konsumsi dan produksi. Jadi, Pratowo melihat dari pengaturan yang ada saat ini sudah cukup memadai.

ADINDA JASMINE | MOH KHORY ALFARIZI

Adinda Jasmine

Bergabung dengan Tempo sejak 2023. Alumni President University jurusan International Relations, Strategic and Defense Studies. Menulis tentang Politik, Ekonomi, Seni, dan Gaya Hidup. Bukunya terbit pada 2020, Gender Inequality in Southeast Asia: An Itinerary to the Light.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus