Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ekonom Nilai Kasus Sritex Cerminan Kondisi Industri Tekstil

Ekonom Celios menyebut kasus Sritex sebagai gambaran penurunan industri tekstil dalam negeri. Tekanan produk impor setelah terbitnya Permendag nomor 8 turut berkontribusi pada lesunya sektor ini

30 Oktober 2024 | 20.15 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengatakan pemerintah Presiden Prabowo perlu menahan laju penurunan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri. Khususnya setelah ada kasus PT Sri Rejeki Isman Tbk. atau Sritex yang dinyatakan pailit lewat putusan Pengadilan Niaga Kota Semarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masalah ini dianggap sebagai gambaran industri tekstil dalam negeri. Selain Sritex, Huda memaparkan perusahaan sektor TPT lainnya juga sudah banyak melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK. Tidak sedikit pula yang gulung tikar. “Artinya, kondisi ini sudah parah dan pemerintah nampaknya kehabisan ide untuk memberikan stimulus ke industri ini,” kata dia saat dihubungi Rabu, 30 Oktober 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Padahal sumbangsih perusahaan TPT ke industri nasional cukup besar. Ia memaparkan porsi industri TPT terhadap PDB mampu mencapai 5,8 persen. Dalam hal penyerapan tenaga kerja pun cukup besar dengan basis pekerja paling banyak di Jawa Tengah. Jumlah pekerja di sektor TPT lebih dari 3,5 juta tenaga kerja.

Ia merekomendasikan Prabowo untuk mengatur kembali aturan impor untuk memberikan insentif bagi industri tekstil lokal. “Bea masuk untuk produk TPT harus dievaluasi jangan sampai menimbulkan gejolak lebih panjang,” ujarnya.

Tekanan produk impor dianggap menjadi salah satu penyebab penurunan sektor ini. Terutama setelah Kementerian Perdagangan mengeluarkan aturan yang memperlonggar aturan dan syarat impor dalam peraturan menteri perdagangan atau Permendag nomor 8 tahun 2024 tentang kebijakan impor. Terlebih permintaan dari dalam negeri ikut melambat dan masyarakat lebih memilih produk impor karena harganya yang lebih murah. 

Dari sisi eksternal, Huda Mengatakan Industri tekstil mempunyai tekanan yang cukup kuat dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi permintaan global seperti Amerika Serikat dan China mengalami penurunan yang pada akhirnya membuat permintaan industri melambat. Permintaan China melambat yang menimbulkan oversupply di domestik China. “Jadi tekanan dari dalam negeri ada, dari luar negeri juga kuat. Maka industri TPT tumbang,” ujarnya. 

Sritex pailit setelah digugat di Pengadilan Niaga Semarang. Perusahaan dianggap lalai dalam memenuhi kewajiban pembayaran utang. Keputusan ini disahkan usai mengabulkan permohonan salah satu kreditur Sritex yang meminta pembatalan perdamaian dalam penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) sesuai kesepakatan sebelumnya. Hal tersebut dibenarkan oleh Juru Bicara Pengadilan Niaga Kota Semarang, Haruno Patriadi, pada Rabu, 23 Oktober 2024. Haruno menjelaskan, putusan dalam persidangan yang dipimpin Hakim Ketua, Muhammad Anshar Majid, tersebut mengabulkan permohonan PT Indo Bharat Rayon sebagai debitur PT Sritex.

Hammam Izzudin berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus