TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral hingga saat ini masih mengevaluasi laporan perusahaan pertambangan terkait kewajiban pasokan
batu bara ke pasar dalam negeri (domestic market obligation/DMO). Berdasarkan hasil sementara, Kementerian melaporkan masih banyak perusahaan yang belum memasok batubara ke pasar lokal sebanyak 25 persen dari total produksi.
"Ada perusahaan yang lebih, ada juga perusahaan yang kurang, saya tak bisa menyebutkan berapa banyaknya," ungkap Bambang di kantornya, Rabu 18 Juli 2018.
Bambang mengemukakan perusahaan yang tak mampu memenuhi kewajiban adalah penambang kecil. Izin pertambangannya pun diterbitkan pemerintah provinsi. Sementara Kementerian Energi hanya berwenang menerbitkan izin bagi wilayah pertambangan lintas provinsi.
Akibatnya, Kementerian Energi tak bisa menerapkan sanksi bagi penambang kecil yang melanggar. Pemerintah, kata Bambang, hanya bisa meminta pemerintah setempat untuk melaksanakan sanksi. Hukuman bagi perusahaan yang tak memenuhi kewajiban ini adalah pengurangan kuota produksi.
"Kami cuma minta lewat gubernur. Kalau enggak bisa ya menaati ya bagaimana," ungkap Bambang.
Persoalan lain dalam kewajiban DMO adalah spesifikasi batubara. Banyak penambang belum bisa memasok batubara karena tak cocok dengan standar milik PT PLN (Persero) sebagai pembeli. Pembangkit batubara PLN hanya mampu menerima batubara dengan Spesifikasi 4.000-5.000 kalori per gram.
Selain mengatur kuota, pemerintah juga menetapkan harga khusus batubara domestik maksimal US$ 70 per ton. Jika harga batubara acuan di bawah itu, maka pembeliannya mengacu ke harga pasar. Besaran itu berlaku bagi batubara berkalori 6.322 per gram.
19 April lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sebenarnya membolehkan penambang melakukan transfer kuota. Artinya, penambang yang tidak menjual batubara sesuai DMO bisa membeli kuota dari perusahaan yang memiliki persentase produksi yang melebihi kewajiban. Maklumat disampaikan melalui surat ke seluruh penambang.
Namun surat itu tak membuat masalah beres. Sebab, banyak penambang yang keberatan harus membeli kuota dengan harga yang mahal. Seperti PT ABM Investama Tbk yang harus memenuhi kewajiban pasokan untuk anak perusahaannya yang menambang di Aceh. Tambang ini hanya memproduksi batubara berkalori 3.200 per gram sehingga tak bisa dijual ke dalam negeri. Direktur Keuangan ABM Adrian Erlangga menyatakan perusahaannya tak mau melaksanakan transfer kuota karena harganya tak masuk akal. "Transfer kuota mahal dan harganya belasan dolar AS. Tak masuk akal," ungkap Adrian.
ABM tengah meminta pengecualian kewajiban dari Kementerian Energi. Namun proses ini tak mudah karena perusahaan lainnya berisiko meminta perlakuan serupa. Adrian mengatakan perusahaan juga tengah membahas alternatif supaya kewajibannya bisa terpenuhi. "Niat kami emang mau comply dengan kewajiban," katanya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia Hendra Sinadia mengatakan kewajiban DMO memang sulit dipukul rata bagi semua perusahaan. Sebab, setiap tambang memiliki karakter berbeda. Mulai dari besaran kalori, cadangan, biaya produksi, ataupun letak tambangnya. "Kami juga sulit untuk memfasilitasi ini," ujar dia.
Pekan lalu, Direktur Pengadaan Strategis PLN Supangkat Iwan Santoso mengemukakan perusahaannya sudah tak bermasalah mendapatkan pasokan batubara domestik. Kondisi itu berbeda saat aturan harga
batu bara domestik baru berlaku pada Maret lalu, perusahaannya sempat kesulitan memperoleh pasokan. Akibatnya operasi PLTU PLN sempat terganggu. "Sekarang realisasi pasokannya sudah 48 persen dari target," tutur Iwan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini