Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Faisal Basri Sebut Timor Leste Lebih Bijak Urus BBM Ketimbang RI, Begini Penjelasannya

Faisal Basri menyarankan kepada pemerintah untuk belajar mengelola bahan bakar minyak, termasuk BBM bersubsidi, dari negara tetangga Timor Leste.

30 Agustus 2022 | 20.35 WIB

Ekonom Faisal Basri dalam diskusi Ngobrol @Tempo bertajuk "Menemukan Jalan Subsidi BBM Tepat Sasaran" di Gedung Tempo, Jakarta pada Selasa, 30 Agustus 2022. (Foto: Norman Senjaya)
Perbesar
Ekonom Faisal Basri dalam diskusi Ngobrol @Tempo bertajuk "Menemukan Jalan Subsidi BBM Tepat Sasaran" di Gedung Tempo, Jakarta pada Selasa, 30 Agustus 2022. (Foto: Norman Senjaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri menyarankan kepada pemerintah untuk belajar mengelola bahan bakar minyak, termasuk BBM bersubsidi, dari negara tetangga Timor Leste. Negara itu juga pernah menjadi bagian dari Indonesia hingga 2002.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Pasalnya, kata Faisal, cadangan minyak dalam negeri terus menyusut hingga diperkirakan akan habis dalam waktu maksimal 9 tahun lagi. Padahal, ketika masih bisa memproduksi saja, pemerintah sudah kesulitan mengendalilan harga BBM sehingga harus ada subsidi energi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Negara tetangga kita, saudara dekat kita, Timor Leste itu lebih bijak dalam melihat BBM ini," ucap Faisal Basri dalam acara diskusi Ngobrol @Tempo berjudul "Menemukan Jalan Subsidi BBM Tepat Sasaran", Selasa, 30 Aguatus 2022.

Kebijaksanaan pemerintah Timor Leste dalam mengelola cadangan minyaknya sendiri, kata Faisal, terlihat dari penetuan harga BBM di negara itu yang cenderung lebih mahal dari Indonesia. Padahal, dia mengatalan, Timor Leste merupakan salah satu produsen dan eksportir migas hingga saat ini.

"Lebih mahal dari Indonesia walaupun dia produsen dan eksportir BBM. Karena apa? Dia enggak mau kasih subsidi suka-suka. Mereka sisihkan 30 persen dari pendapatan minyaknya itu dalam bentuk oil fund," ujar Faisal.

Dengan penetapam harga minyak yang lebih sesuai dengan harga pasaran, dan tidak sembarangan memberikan subsidi energi, pemerintah Timor Leste kata dia mampu memanfaatkan dana yang diperoleh dari penjualan minyak mentah itu untuk kepentingan masyarakat lebih luas.

"Dana minyak itu untuk beasiswa, sekolah, bangun infrastruktur, EBT (energi baru dan terbarukan) energi solar, dan sebagainya itu. Nah itu Timor Leste, memang negaranya relatif kecil," kata Faisal.

Selain Timor Leste, dia melanjutkan, banyak juga negara lain yang lebih cermat mengelola cadangan minyaknya. Misalnya salah satu negara dengan cadangan minyak yang besar, yaitu Norwegia. Negara itu punya juga memiliki oil fund yang jumlanya setara Rp 1.300 triliun.

Selanjutnya: Jokowi dinilai tak konsisten dengan janjinya karena...

"Walaupun kaya minyak tapi tabungan dari minyaknya itu Rp 1.300 triliun, jadi dia enggak susah. Denmark juga dengan itu. Anda dikasih US$ 10 ribu per bulan untuk kuliah. Kuliah dikasih duit. Kalau kita, kan bayar mahal jalur A, B, C. Pokoknya ribet deh komersialisasi pendidikan itu," ucapnya.

Atas dasar itu, Faisal mengatakan, saat ini menjadi momentum bagi pemerintah untuk betul-betul mereformasi tata kelola minyak mentah dan subsidi BBM yang sebetulnya sudah dimulai Presiden Joko Widodo atau Jokowi sejak 2014.

Sayangnya, menurut Faisal, Jokowi tak lagi konsisten dengan janjinya karena nilai subsidi BBM terus dinaikkan.

"Kalau kita begini terus, ingat minyak kita itu 7-9 tahun lagi habis. Barangkali beli minyaknya harga dunia, 9 tahun lagi loh itu namanya reserve to production ratio. Kenapa turun terus ini lifting di bawah 700 ribu, sementara konsumsi kita kira-kira 1,4 juta totalnya," ujar Faisal.

Akibat minimnya produksi migas di tengah tingginya konsumsi BBM, pemerintah terpaksa impor 700 ribu barel per hari dengan uang APBN. Minyak yang juga disubsidi itu, kata Faisal, dibeli dengan mata uang dolar AS sekitar US$18 miliar.

"Itu yang kita habiskan. Untuk itu saja. Makanya rupiah melemah, subsidinya naik lagi, jadi ribet gara-gara si BBM ini enggak diselesaikan," tutur Faisal. "Yang saya takut 2040-2050 kita krisis energi karena batu bara kita enggak bisa menutupi, kita akan defisit subsdi energi US$ 40 miliar. Gak ada kedaulatan energi, malah kita didikte sama negara-negara lain."

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus