Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Gagal di Cina, Terjegal di Taiwan

Indonesia gagal mengekspor kayu lapis ke Cina sesuai dengan perjanjian. Jumlah pesanan Cina menurun dan tak mau membuka L/C. Taiwan ikut menolak kayu lapis Indonesia. pengusaha Indonesia gigit jari.

12 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA angin kencang yang melanda pasar 1 kayu lapis: Bulan lalu, RRC, sebagai salah satu pasar baru yang diandalkan, ternyata, ingkar janji. Para pengusaha kayu lapis, yang semula yakin bahwa RRC akan melakukan pembelian sesuai dengan perjanjian yang telah ditandatangani (1,5 juta kubik setahun), terpaksa gigit jari. Soalnya, tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba saja pemerintah Cina menurunkan pesanannya, menjadi 350 ribu kubik saja. Tapi, itu pun tak apalah, daripada tidak. Agaknya, itulah yang dipikirkan oleh 10 pengusaha, yang mempunyai hak mengekspor produknya ke Gna. Sialnya, kendati jumlah pesanan sudah diturunkan, pihak RRC ternyata tak mau membuka L/C. Tidak jelas apa sebabnya. Entah karena tak punya devisa, atau disebabkan faktor lain. Tapi seorang pengusaha kayu lapis yang tahu benar seluk-beluk bisnis ini menyebutkan, pemerintah Cina sengaja menghambat karena adanya perubahan prosedur perdagangan. Caranya mudah: menaikkan bea masuk kayu lapis impor dari 15 menjadi 37,5%. Konon, dulu, jauh sebelum adanya komitmen (ketika perdagangan dengan RRC dilakukan melalui Hong Kong), para pejabat pemerintah di Negeri Kungfu ini biasa menerima komisi dari setiap transaksi yang terjadi. Tapi sekarang, setelah dilakukan perdagangan langsung, yang mengharuskan setiap pembelian melalui Hua Yuan (salah satu BUMN di sana), uang semir itu tak ada lagi. Akibatnya, ya itu tadi, para pejabat tersebut menciptakan rantai birokrasi baru untuk kayu lapis impor. Yang kelabakan tentulah pengusaha yang memiliki hak ekspor. Soalnya, karena tak ada pembukaan L/C, produksi mereka terpaksa menumpuk di gudang. Padahal, jenis kayu lapis yang dipesan RRC ini (ukuran tipis 4-5 milimeter) susah dipasarkan. Menurut sumber TEMPO, negara yang paling banyak menyerap kayu lapis jenis ini hanyalah Taiwan. Jadinya, kendati kuota ke Taiwan yang sudah disepakati hanya 150.000 m3, terpaksa produk yang menumpuk itu dilempar ke sana. Tapi, seperti biasanya, kali ini hukum pasar pun berlaku. Melihat suplai yang menggelegak, Taiwan pun memasang lagak. Mereka menyatakan tak sanggup menampung kayu lapis sebanyak itu, dalam waktu yang relatif singkat. Makanya, harga pun terpaksa dibanting, dari 390 dolar AS per kubik (CNF) menjadi 310 dolar. Sialnya, Taiwan menyatakan hanya sanggup menampung 100.000 m3. Lantas sisanya yang 250.000 m3? Konon, Apkindo (Asosiasi Produsen Kayu Lapis Indonesia) melemparkan ke pasar Korea, Jepang, dan Afrika (dengan harga miring, tentunya). Hanya saja, negara-negara di luar Taiwan itu -- yang pada dasarnya membutuhkan kayu lapis ukuran 9 mm ke atas -- paling banyak hanya mampu menyerap 25.000 m saja. Jadi, masih banyak kayu lapis yang menumpuk di gudang-gudang produsen. "Salahnya, dulu kita terlalu optimistis RRC akan menjadi pasar yang andal. Padahal, pasar yang kuat itu sebenarnya Taiwan, yang mempunyai cadangan devisa 65 milyar dolar," ujar sumber TEMPO. Bob Hasan, Ketua Umum Apkindo mengakui adanya pelemparan kayu lapis yang sedianya akan diekspor ke RRC. "Kami menjualnya ke Afrika. Tapi tidak benar kalau disebutkan masih banyak yang menumpuk di gudang," katanya. Menurut versi dia, pembelian dibatalkan bukan hanya karena RRC tak berduit, tapi itu juga merupakan taktik. Bob menduga, dengan berlaku seperti itu, RRC berharap harga kayu lapis Indonesia akan ambruk. "Padahal, kami berorientasi pada kekuatan pasar, bukannya pada jumlah produksi. Sehingga, kalau ada kasus seperti ini, jualnya tetap gampang," ujarnya. Buktinya, tanpa menyebutkan angka yang pasti, Bob menunjuk devisa yang diraih dari ekspor kayu lapis, yang masih terus menanjak. Budi Kusumah dan Linda Djalil

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus