Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) meminta pemerintah menunda kenaikan tarif pungutan ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO). Kenaikan pungutan dikhawatirkan menjadi beban di tengah penerapan tarif impor Amerika Serikat dan perang India-Pakistan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Umum Gapki Eddy Martono mengatakan skema pungutan baru sebaiknya diterapkan setelah kondisi global pulih. “Sebaiknya kenaikan penyesuaian tarif ekspor ini ditunda terlebih dahulu menunggu situasi membaik,” ucapnya saat dihubungi Jumat, 16 Mei 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eddy juga mengkhawatirkan kondisi perang India dengan Pakistan dapat berdampak pada harga CPO. Karena India dan Pakistan adalah importir terbesar kedua dan ketiga minyak sawit mentah asal Indonesia.
Selain itu, Eddy menambahkan kenaikan pungutan ini dapat menyebabkan beban ekspor minyak sawit Indonesia meningkat. “Saat ini ekspor minyak sawit Indonesia terkena 3 beban yaitu ketentuan DMO (Domestic Market Obligation), PE (Pungutan) Ekspor, dan BK (Bea Keluar),” ucapnya.
Seperti diketahui, pemerintah secara resmi menaikkan tarif pungutan ekspor CPO dari 7,5 persen menjadi 10 persen. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 30 Tahun 2025 dan mulai berlaku pada 17 Mei 2025.
Selain minyak sawit mentah, kebijakan baru ini juga mengatur kenaikan tarif pungutan ekspor untuk produk olahan turunannya. Tarif produk turunan seperti Crude Palm Olein, Crude Palm Stearin atau Crude Palm Kernel Olein naik jadi 9,5 persen dari semula 6 persen.
Pilihan editor: Ancaman Deforestasi di Balik Swasembada Energi Prabowo