Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono menyebut pertumbuhan ekonomi global yang masih dilanda ketidakpastian mempengaruhi industri sawit Indonesia pada 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Ketidakpastian itu salah satunya perang Rusia dan Ukraina serta perang Timur Tengah," kata Eddy dalam acara halal bihalal GAPKI di Shangri-La Hotel, Jakarta Pusat pada Selasa, 30 April 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Konflik antara Iran dan Israel juga meningkatnya konflik laut merah menimbulkan masalah ekonomi global. Eddy menyebut Cina yang sebelumnya menjadi konsumen terbesar minyak sawit, saat ini bergulat dengan perlambatan ekonomi.
"Ekspor produk sawit ke Uni Eropa (UE) pada 2023 mengalami penurunan dibanding 2022," ujarnya.
Pada 2022 ekspor sebesar 5,03 Juta Ton, kemudian menurun menjadi 4,17 Juta Ton. Sedangkan, pada 2024 ekspor Februari mengalami penurunan dibanding Januari.
"Dari 368 ribu Ton menjadi 341 ribu ton,"tuturnya. Eddy mengatakan kampanye negatif di berbagai negara juga bakal mempengaruhi industri sawit pada 2024.
Sikap pemerintah ke Industri Sawit
Eddy mengklaim tidak jelasnya kepastian hukum dan kepastian di Indonesia juga memicu tantangan industri sawit untuk tetap bertahan.
"Adanya kebijakan yang tidak sinkron menyebabkan kerancuan implementasi di lapangan," ungkapnya.
Dia menyebut soal peraturan pemerintah (PP) Nomor 05 Tahun 2021 tentang perizinan berbasis risiko di mana dalam peraturan tersebut, khususnya mengenai perizinan KBLI (Klasifikasi Bahan Baku Lapangan Usaha Indonesia) 10431 industri Crude Palm Oil (CPO) minyak kelapa sawit diatur dengan persyaratan yang berbeda antara lampiran sektor pertanian dan perindustrian.
Eddy menyinggung soal wacana pemerintah pemutihan lahan sawit ke kawasan hutan. Lahan sawit yang teridentifikasi masuk dalam kawasan hutan sebesar 3,4 juta hektare. Padahal menurutnya sebagian besar lahan itu sudah memiliki perizinan dan HGU (Hak Guna Usaha). Sedangkan ada 2,4 hektare yang teridentifikasi masuk ke pasal 110 B Undang-Undang Cipta Kerja. Dia menyebut permasalahan itu bakal memicu penurunan luas areal dan produksi sawit.
Tantangan industri sawit berikutnya adalah penurunan produksi dan produktivitas yang relatif stagnan namun cenderung turun. Sedangkan, konsumsi dalam negeri seperti pangan, biodiesel, oleochemical terus meningkat.
Eddy menyebut produksi CPO bulan Februari 2024 diperkirakan mencapai 3.883 ribu ton atau turun 8,25 persen dari 4.232 ribu Ton pada Januari 2024.
Demikian pula dengan produksi Palm Kernel Oil (PKO) atau minyak yang berasal dari biji dalam buah sawit. diperkirakan turun sekitar 8,24 persen dari 402 ribu Ton pada Januari 2024 menjadi 369 ribu Ton pada Februari 2024.
Turunnya produksi ini disebabkan antara lain jumlah hari kerja pada bulan Februari yang lebih sedikit dibandingkan bulan Januari.
Menurutnya total konsumsi dalam negeri pada bulan Februari juga mengalami penurunan 4,02 persen dibandingkan bulan Januari 2024 yaitu dari 1.942 ribu Ton menjadi 1.864 ribu Ton. Konsumsi pada bulan Februari untuk pangan, oleokimia dan biodiesel mengalami penurunan secara berurutan menjadi 769 ribu Ton, 175 ribu Ton dan 920 ribu Ton dari 800 ribu Ton, 187 ribu ton dan 957 ribu ton pada bulan Januari atau turun masing-masing sebesar 3,87 persen, 6,42 persen dan 3,77 persen.
"Penurunan konsumsi juga antara lain disebabkan jumlah hari kalender Februari yang lebih sedikit dari bulan Januari," ungkapnya.
Di sisi ekspor, kinerja total ekspor bulan Februari mengalami penurunan 26,48 persen yaitu dari 2.810 pada Januari menjadi 2.166 ribu Ton pada Februari. Secara volume, penurunan terbesar terjadi pada olahan CPO dari 1.933 ribu Ton menjadi 1.495 ribu Ton atau minus 438 ribu Ton. Kemudian diikuti dengan CPO dari 367 ribu Ton menjadi 152 ribu Ton (-215 ribu Ton), dan oleokimia dari 393 ribu Ton menjadi 364 ribu Ton (-29 ribu Ton).
Ekspor olahan PKO naik dari 106 ribu ton menjadi 129 ribu Ton (+23 ribu Ton). Akibat dari penurunan volume yang besar tersebut, nilai ekspor bulan Februari hanya mencapai USD 1.808 Juta, turun dari USD 2.304 Juta pada Januari, meskipun harga CPO cif Rotterdam naik dari USD 958 per ton menjadi USD 965 per ton.
Penurunan volume ekspor dari bulan Januari ke Februari yang terbesar terjadi untuk tujuan India yakni sebesar 287 ribu Ton dari 527 ribu ton menjadi 240 ribu Ton atau minus 54,45 persen ; diikuti tujuan Pakistan sebesar 97 ribu Ton dari 284 ribu ton menjadi 187 ribu ton minus 34,15 persen dan tujuan Afrika sebesar 91 ribu Ton dari 639 ribu Ton menjadi 548 ribu Ton atau minus 14,24 persen ; serta tujuan Cina sebesar 49 ribu Ton dari 375 ribu Ton menjadi 326 ribu Ton minus 13,07 persen ; Bangladesh sebesar 43 ribu Ton dari 77 ribu ton menjadi 34 ribu Ton minus 55,84 persen serta EU sebesar 27 ribu Ton dari 368 ribu Ton menjadi 341 ribu Ton minus 7,34 persen.