Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah memutuskan harga terendah benih bening lobster Rp 8.500 di tingkat nelayan.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) ragu aturan penetapan harga dapat diimplementasikan di lapangan lantaran para nelayan biasanya bergantung pada tengkulak agar hasil tangkapan dapat diserap pasar.
KKP memutuskan harga patokan terendah BBL sebesar Rp 8.500 per ekor berdasarkan sejumlah pertimbangan.
ATURAN pengelolaan benih bening lobster (BBL) memasuki babak baru. Pemerintah memutuskan harga terendah benur lobster Rp 8.500 di tingkat nelayan. Aturan tersebut tertuang pada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 24 Tahun 2024 tentang patokan harga terendah benih lobster dan mulai berlaku pada 26 Maret 2024.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) ragu aturan penetapan harga dapat diimplementasikan di lapangan. Menurut Sekretaris Jenderal Kiara Susan Herawati, para nelayan biasanya bergantung pada tengkulak agar hasil tangkapan dapat diserap pasar. “Para tengkulak yang bisa bermain harga,” katanya kepada Tempo, kemarin, 31 Maret 2024. Tengkulak mempunyai kemampuan modal sehingga memiliki daya tawar yang lebih tinggi dari nelayan.
Susan mengatakan para nelayan penangkap benur lobster sebenarnya dapat memiliki daya tawar saat menjual harga jika memanfaatkan fungsi koperasi. Sayangnya, jumlah koperasi nelayan sangat sedikit. Karena itu, dia meminta pemerintah mengawasi penerapan aturan harga patokan tersebut supaya nelayan tidak menjual tangkapan lebih rendah daripada harga yang ditetapkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Barat, harga BBL 2020 sebesar Rp 10 ribu hingga Rp 42 ribu. BBL pasir dibanderol Rp 10 ribu, sedangkan BBL mutiara dijual Rp 35-45 ribu.
Susan menuturkan, dalam aturan ini, pemerintah seolah-olah melindungi nelayan penangkap benur, tapi pemerintah juga tidak dapat memastikan batas bawah harga jual BBL diterapkan. Apalagi saat produksi benur meningkat, harga jualnya menjadi rendah. “Bagaimana negara bisa menjamin aturan bisa dijalankan? Banyak aturan bagus keluar, tapi tantangannya pada penerapannya.”
Pekerja tengah membungkus benur ke dalam plastik di Jakarta, 2020. Tempo/Tony Hartawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Nusa Tenggara Barat, Amin Abdullah, menuturkan hukum pasar berlaku dalam penentuan harga BBL. Dia mengatakan kini produksi benur masih terbatas, sementara permintaan di pasar cukup tinggi. Amin mencontohkan harga jual benur di Lombok mencapai Rp 20 ribu untuk BBL pasir dan Rp 25 ribu untuk BBL mutiara. Walhasil, penetapan harga batas bawah BBL tidak berpengaruh bagi nelayan penangkap benur. "Untuk saat ini, para pembeli, baik yang gelap maupun yang terang, sudah banyak yang menunggu," kata Amin.
Namun aturan harga terendah BBL pada harga Rp 8.500 per ekor tidak berlaku bagi nelayan budi daya lobster. Abdullah, seorang nelayan budi daya lobster di Lombok Timur, mendapati harga BBL yang dijual untuk budi daya mencapai Rp 46 ribu per ekor. Menurut dia, di pasar BBL berlaku dua patokan harga, yakni benih lobster untuk kebutuhan ekspor dan benih untuk budi daya nelayan lokal. Abdullah menduga patokan harga yang ditetapkan pemerintah adalah untuk benur ekspor, sementara untuk budi daya lokal belum diatur.
Kendati demikian, dia menilai, jika harga patokan BBL Rp 8.500 berlaku untuk kebutuhan budi daya, maka tetap memberatkan. Abdullah mengaku sudah meminta pemerintah agar harga tertinggi BBL untuk kebutuhan budi daya Rp 5.000 per ekor.
Senada, Ketua KNTI Dani Setiawan mengatakan nelayan budi daya kesulitan bersaing dengan pasar ekspor karena tingginya harga benur, yang kini mencapai Rp 20 ribu hingga Rp 25 ribu per ekor. “Harga yang terlalu tinggi membuat pembudi daya sulit mengakses. Akibatnya, hanya investor besar yang bisa mendapatkan benur,” kata dia.
Baca Infografiknya:
Adapun KKP memutuskan harga patokan terendah BBL sebesar Rp 8.500 per ekor berdasarkan sejumlah pertimbangan. Asisten Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Media dan Komunikasi Publik Doni Ismanto mengatakan metode penetapan harga patokan terendah BBL berdasarkan biaya produksi, yaitu biaya tetap produksi dan biaya variabel produksi yang juga mempertimbangkan faktor permintaan, biaya, persaingan, dan laba. Harga jual terendah ini juga memperhitungkan komponen upah minimum regional (UMR) setempat sebagai pembanding.
Ismanto menuturkan nelayan tetap mendapatkan keuntungan karena penetapan harga tersebut berdasarkan pertimbangan biaya produksi, variabel produksi, serta memperhitungkan komponen UMR dan margin laba. Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) KKP Budi Sulistiyo mengatakan pemerintah memasukkan biaya produksi seperti nilai penyusutan investasi, misalnya keramba, perahu, mesin perahu, lampu, dan genset. Biaya variabel produksi, yang meliputi biaya BBM, perbekalan, dan pemeliharaan alat, juga menjadi masuk dalam hitungan KKP.
Dengan menghitung UMR Lombok Timur sekitar Rp 2,4 juta, dengan harga terendah BBL Rp 8.500 per ekor, margin keuntungan nelayan diperkirakan sebesar 25 persen. KKP berharap aturan main patokan harga terendah mampu mencegah ekspor benur ilegal. Pasalnya, harga pasar dan penetapan harga terendah mempertimbangkan kepentingan dan melindungi nelayan BBL.
Pekerja tengah membungkus benur kedalam plastik untuk di ekspor ke Vietnam di Jakarta, 2020. Tempo/Tony Hartawan
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengingatkan pemerintah agar berfokus dalam program budi daya karena potensi sebaran lobster semakin terbatas di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). Dia khawatir keluarnya aturan batas bawah harga BBL justru mendukung kegiatan ekspor benur ke luar negeri. Harga jual BBL dengan tujuan ekspor, kata Halim, tidak pernah berada pada titik tertinggi karena pemain terlalu banyak. Sehingga rantai para pelaku ekspor ilegal tidak akan memberikan harga tinggi kepada nelayan penangkap benur. “Karena mereka harus berbagi manfaat dengan oknum pemerintah yang selama ini terlibat praktik ekspor BBL.”
Hingga sekarang, KKP masih melarang ekspor benur. Karena itu, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan masih memberantas pengiriman ilegal BBL ke luar negeri. Sebagai gantinya, Ismanto mengatakan, KKP mengembangkan budi daya benur lobster dengan mengajak investor menanamkan modalnya di Indonesia.
Dalam beberapa kesempatan, Menteri Kelautan dan Perikanan atau KKP Sakti Wahyu Trenggono menyinggung wacana peluang ekspor BBL kembali dibuka. Rencana tersebut seiring dengan temuan pemerintah atas maraknya penyelundupan ekspor benur. Pasalnya, BBL yang dibudidayakan di Vietnam diperoleh dari Indonesia melalui jalur penyelundupan. Larangan ekspor benur tertulis pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan atau Permen KP Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.)
Direktur Jenderal Perikanan Budi Daya KKP Heru Rahayu menyebutkan 100 persen BBL di Vietnam berasal dari Indonesia dalam acara Indonesia Marine and Fisheries Business Forum 2024, Senin, 5 Februari 2024. Dia mengatakan Vietnam mendapatkan BBL tidak langsung dari Indonesia, melainkan dari negara tetangga. Dia mengatakan potensi nilai BBL di Vietnam mencapai US$ 1,2 miliar. Angka tersebut berasal dari kebutuhan BBL di Vietnam sebesar 600 juta dikali dengan harga BBL Rp 41 ribu per ekor. “Ini tidak ada satu sen pun masuk ke penerimaan negara,” kata dia seperti dikutip Antara.
Ekonom dari Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian, menyamakan ekspor benur lobster seperti menjual bijih nikel yang tidak memiliki nilai tambah signifikan. Dia menyayangkan gencarnya suara penghiliran hanya berfokus di sektor pertambangan, bukan perikanan maupun pertanian. Jika ekspor BBL kembali dibuka, pemerintah membuktikan diri tidak konsisten dalam menciptakan nilai tambah sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan. “Sebab, dibukanya kembali ekspor benur artinya akan ada eksploitasi penjualan dan berakibat pada menurunnya keseimbangan dalam ekosistem budi daya lobster.”
Dia mengatakan pemerintah seharusnya berfokus mendampingi nelayan dalam mengembangkan budi daya benih bening lobster. Mengingat lobster dewasa memiliki harga jual jauh lebih mahal dan memiliki pasar ekspor yang permintaannya selalu tinggi, seperti Amerika, Hong Kong, Kanada, dan Singapura. “Kebijakan budi daya lobster dalam negeri lebih menyejahterakan nelayan.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Abdul Latief Apriaman berkontribusi dalam penulisan artikel ini