Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Indonesian Corruption Watch (ICW) memperhitungkan adanya kerugian negara Rp 133,6 triliun akibat adanya indikasi transaksi yang tidak terlaporkan dari ekspor batu bara selama periode 2006-2016. Peneliti ICW, Firdaus Ilyas, mengatakan kerugian itu terjadi dari kewajiban perusahaan batu bara untuk pajak penghasilan ataupun royalti.
"Berdasarkan hasil penelusuran ICW selama 2006 -2016, ditemukan indikasi un-reporting transaksi ekspor batu bara sebesar US$ 27,062 miliar atau setara Rp 365,3 triliun," ujarnya di sekretariat ICW, Jakarta, Jumat, 10 November 2017.
Metode yang digunakan ICW dalam menganalisis kewajaran transaksi perdagangan ekspor batu bara Indonesia adalah analisis kewajaran. Pertama, ICW membandingkan kewajaran transaksi nilai dan volume antara yang tercatat di Indonesia dan negara pembeli.
Berdasarkan catatan Kementerian Perdagangan selama periode 2006-2016, Firdaus mengatakan volume ekspor batu bara yang tercatat melalui data Kementerian atau Badan Pusat Statistik sebanyak 3421,6 ton. Adapun data dari negara pembeli yang dicatat pada periode sama adalah 3147,5 ton. "Terdapat selisih 274,1 ton, di mana data versi Indonesia (Kementerian Perdagangan) lebih tinggi," ucapnya.
Namun, bila membandingkan nilai ekspor, kata Firdaus, selama 2006-2016 tercatat nilai ekspor batu bara Indonesia US$184,853 miliar (FOB Basis). Sedangkan berdasarkan data negara pembeli, total nilai impor batu bara dari Indonesia adalah US$ 226,525 miliar (CIF Basis). Terdapat selisih US$ 41,671 miliar. "FOB kita seharusnya lebih besar dari yang dilaporkan," tuturnya.
Data pembeli diperoleh dari berbagai sumber, seperti UN Comtrade, data bea dan cukai negara pembeli, dokumen kontrak penjualan batu bara, dan beberapa data lain.
Selanjutnya, ICW menganalisis kewajaran transaksi, apakah telah memenuhi arm length principle dengan Australia sebagai negara pembanding. "(Australia) dipilih karena memiliki kemiripan kondisi dan data terkait batu bara, baik volume, karakteristik, maupun lainnya, sehingga bisa dijadikan pembanding," katanya.
Dia menemukan adanya selisih freight untuk pengiriman barang dengan tujuan yang sama dari setiap negara. "Kami melihat selisih antara CIF dan FOB alias harga di negara pembeli dengan harga di pabean pengekspor," ujarnya. "Dari 2006-2016, nilai freight dan insurance dari Indonesia adalah US$ 20,18 per metrik ton, sementara Australia US$ 16,45 per metrik ton."
Dari data itu ICW melihat adanya kejanggalan dari data tersebut. "Kok, bisa biaya dari Indonesia lebih mahal? Padahal secara jarak Australia lebih jauh," katanya. Negara tujuan ekspor yang dimaksud adalah India, Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, dan sebagainya.
Dari ketidakwajaran itu, lantas lembaga pemerhati korupsi tersebut menganalisis lebih lanjut dampak yang ditimbulkan, terutama yang terkait dengan kewajiban keuangan terhadap negara, seperti pembayaran royalti dan pajak. Adapun rincian indikasi kerugian negara adalah dari kewajiban pajak Rp 95,2 triliun dan royalti Rp 38,5 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini