Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Pengadaan Gula Rafinasi bermasalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Indikasi korupsinya sangat kuat, karena Permendag keluar dengan melanggar berbagai macam ketentuan," kata Koordinator ICW, Adnan Topan Husodo di kantornya, Jalan Kalibata Timur, Jakarta Selatan, Rabu, 28 Maret 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Topan mengatakan, berdasar Permen itu, Kementerian menunjuk Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) sebagai pelaksana lelang. Penunjukan itu menurut Topan telah melanggar Perpres Nomor 54 tahun 2010 yang menyatakan lelang harus melalui Unit Layanan Pengadaan (ULP).
Selain itu, penunjukan BAPPETI dirasa aneh karena bertentangan dengan fungsinya. "BAPPETI fungsinya pengawasan perdagangan, bukan pelaksana," katanya.
Kecurigaan indikasi korupsi disebut Topan semakin menguat setelah BAPPETI memenangkan PT Pasar Komoditas Jakarta (PKJ) sebagai penyedia barang. Faktanya menurut Topan, PT PKJ baru berdiri baru berdiri pada tahun 2016.
Sementara itu, berdasarkan Pasal 19 Ayat 2 Perpres Nomor 4 Tahun 2015, penyedia barang disyaratkan memiliki pengalaman selama empat tahun. Topan lantas menduga ada proses kongkalikong antara PT PKJ dan Kementerian Perdagangan. "Dibelakang perusahaan ini siapa sih, ini yang jadi pertanyaan kita," katanya.
Lanjut papar Topan, ketika BAPPETI menunjuk PT PKJ, tak ada kontraktual didalamnya. Hal tersebut juga melanggar Perpres Nomor 4 Tahun 2015 yang mengharuskan adanya kontrak atau perjanjian tertulis.
"Akibatnya, PKJ seakan-akan memiliki semacam lisensi atau jalan lapang untuk mendesain biaya yang bisa ditarik kepada pembeli gula maupun penjualan gula," katanya.
Karena tidak ada kontrak, Topan mengasumsikan bahwa uang dalam proyek rapinasi sepenuhnya diambil PT PKJ. Sementara itu, menurut Topan putaran uang dalam pengadaan gula rapinasi cukup besar. "Jadi negara dapat apa?," ujarnya.
Topan memberi contoh, jika kebutuhan impor gula rafinasi dalam setahun berkisar antara 3,5 sampai 4 juta ton, biaya transaksi yang terkumpul mencapai Rp 300 miliar. "Itu belum termasuk fee dan lain-lain," katanya.