Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berburu Insentif Nikel di Amerika

Setelah gagal dalam perundingan terbatas, Indonesia mencari cara lain agar nikel Tanah Air mendapat insentif di Amerika.

6 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Negosiasi Indonesia dengan Amerika Serikat mengenai Undang-Undang Pengurangan Inflasi atau Inflation Reduction Act (IRA) tak berjalan mulus.

  • Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan pemerintah masih berupaya untuk memastikan produk turunan nikel Indonesia tak kalah saing di Amerika Serikat. Salah satunya lewat perundingan Indo-Pacific Economic Framewok.

  • Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani mengatakan, tanpa insentif UU Pengurangan Inflasi, Indonesia tidak kehilangan daya saing. Namun dampaknya adalah potensi volume ekspor produk penghiliran nikel asal Indonesia bakal lebih rendah.

JAKARTA - Negosiasi Indonesia dengan Amerika Serikat mengenai Undang-Undang Pengurangan Inflasi atau Inflation Reduction Act (IRA) tak berjalan mulus. Namun pemerintah masih optimistis produk turunan nikel tetap laku.

“Indonesia pernah menginisiasi suatu perundingan limited trade deal dengan AS, tapi tidak berlanjut. Hal ini karena AS sedang tidak memprioritaskan negosiasi perjanjian FTA,” kata Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan kepada Tempo, kemarin.



Lewat IRA, pemerintah AS menawarkan sejumlah insentif untuk pengembangan kendaraan listrik domestik. Mereka berjanji memberikan insentif untuk produsen sel dan pack baterai yang mendirikan pabrik di Amerika. Selain itu, ada kredit pajak untuk mineral kritis bahan baku kendaraan listrik, seperti nikel. Syaratnya, pengolahan mineral kritis ini harus dilakukan di Amerika Serikat atau berasal dari negara-negara mitra pemilik perjanjian perdagangan bebas alias free trade agreement (FTA) dengan Amerika.

Adapun Indonesia, sebagai eksportir besar produk nikel dan sedang berambisi menjadi pemain di rantai pasok kendaraan listrik dunia, tidak memiliki FTA dengan AS. Pemerintah sempat mengajukan perjanjian dagang terbatas untuk mineral kritis agar bisa mendapatkan stimulus dari UU Pengurangan Inflasi. Namun perundingan itu tidak berlanjut. 

Pemerintah menawarkan proposal FTA terbatas ini dengan pertimbangan kondisi kedua negara. Amerika memerlukan nikel dalam jumlah besar dan Indonesia salah satu gudangnya. Merujuk pada data Peterson Institute for International Economics, mitra FTA Amerika Serikat hanya berkontribusi pada 9,3 persen produksi nikel dunia. 

Amerika Serikat tercatat sebagai negara tujuan ekspor produk nikel Indonesia dengan nilai terbesar ketujuh pada 2022. Jauh di bawah Cina di peringkat pertama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini



Deputi Bidang Koordinasi Pertambangan dan Investasi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Septian Hario Seto, menyatakan proposal tersebut serupa dengan FTA terbatas yang diteken AS dengan Jepang. “Esensinya, untuk mineral kritis harus semacam perdagangan bebas,” kata dia pada April lalu. Dimintai konfirmasi ulang melalui pesan dan telepon mengenai negosiasi FTA terbatas ini, Seto tak menanggapi. 
 
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan terbang ke AS untuk membahas UU Pengurangan Inflasi. Pada September lalu, dia bertemu dengan Menteri Perdagangan Amerika Ghina Raimondo dan mengklaim bahwa diskusi berjalan dengan baik. Timnya juga berdiskusi dengan Kantor Perwakilan Dagang AS hingga perwakilan Presiden AS di Gedung Putih. “Kami yakin sekitar November bisa melihat solusinya,” ujar Luhut saat itu. 

Aktivitas produksi nikel sulfat di PT Halmahera Persada Lygend, Pulau Obi, Maluku Selatan, 17 Juni 2023. TEMPO/Subekti

Tak Hilang Harapan

Zulkifli Hasan mengatakan pemerintah masih berupaya memastikan produk turunan nikel Indonesia tak kalah saing di AS. Salah satunya lewat perundingan Indo-Pacific Economic Framework (IPEF). Pemerintah menyoroti mineral kritis, seperti nikel, untuk bahan baku kendaraan listrik sebagai topik strategis. “Indonesia meminta agar Amerika dapat mengklasifikasikan IPEF sebagai suatu kesepakatan untuk memperoleh tax credit dari IRA,” tuturnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jika Indonesia tak mendapat stimulus tersebut. Zulkifli percaya diri nikel Indonesia tetap punya pasar. Menurut dia, nikel merupakan komoditas yang banyak dicari. “Bila tidak mendapat insentif dari suatu pihak, ada kemungkinan akan diutilisasi oleh berbagai pihak lain, termasuk industri olahan nikel di dalam negeri.”

Menurut Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kementerian Koordinator Perekonomian, Edi Prio Pambudi, pembahasan IPEF sebagai sarana untuk menikmati stimulus dari UU IRA masih belum mencapai kesepakatan. “Situasi internal di Amerika masih sangat dinamis dan berbeda opini terhadap status IPEF sebagai FTA. Kita tetap mencari peluang ke arah sana dengan standar yang disepakati,” kata dia.

Truk mengangkut ore nikel ke kapal tongkang di salah satu perusahaan pertambangan di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, 2019. ANTARA/Jojon



Peneliti di Center for Strategic International Studies, Deni Friawan, menyebutkan posisi Indonesia cukup menantang dalam perundingan perdagangan nikel dengan AS. Besarnya investasi Cina pada proyek-proyek penambangan hingga pengolahan nikel diyakini membebani pertimbangan AS untuk memberi stimulus. "Makanya sampai ada senator yang berpendapat bahwa jika (Indonesia) dikasih keleluasaan, itu malah mensubsidi Cina," ujarnya. 

Namun, Deni menilai, Indonesia memiliki daya tawar yang cukup untuk menjalin perjanjian perdagangan khusus dengan AS. Sebab, negara tersebut membutuhkan nikel Indonesia untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kuncinya, Indonesia perlu berkompromi. Menurut dia, perundingan IPEF seharusnya bisa menjadi solusi untuk memanfaatkan stimulus dari UU IRA. 

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta Kamdani mendorong pemerintah bisa menciptakan FTA terbatas dengan AS agar produk unggulan Indonesia memiliki daya saing yang lebih baik. Namun, jika perundingan tersebut tak berhasil, dia tak khawatir bakal ada hambatan perdagangan. "Kita tetap bisa mengakses pasar Amerika dan menjual produk turunan nikel dan kendaraan listrik, tapi tidak ada preferensi perdagangan khusus saja," katanya.

Shinta mengatakan, tanpa insentif UU Pengurangan Inflasi, Indonesia tidak kehilangan daya saing. Namun dampaknya adalah potensi volume ekspor produk penghiliran nikel asal Indonesia bakal lebih rendah. Selain itu, pembentukan rantai pasok kendaraan listrik di antara kedua negara akan lebih lambat terbentuk. "Kalau Indonesia bisa menjaga konsistensi meningkatkan daya saing, kita tetap bisa mengurangi opportunity cost tersebut karena toh Amerika masih perlu mengimpor baterai kendaraan listrik dari Cina," tuturnya. Di sisi lain, proses pemindahan pabrik komponen kendaraan listrik ke Amerika juga bakal butuh waktu.

VINDRY FLORENTIN | ANTARA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus