Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Perkumpulan Industri Alat Besar Indonesia (Hinabi) Jamaluddin memprediksi ada kenaikan produksi pada 2018. Faktor utama yang mendorong itu ialah menguatnya harga komoditas, khususnya batu bara. "Kami targetkan bisa produksi 7.000 unit (alat berat), tapi kalau melihat kondisi sekarang, bisa 8.000 unit," katanya saat dihubungi, Kamis, 3 Mei 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut Jamaluddin, pelaku usaha akan memanfaatkan menguatnya harga komoditas untuk memacu produksi alat-alat berat. Sejauh ini, 40 persen produksi alat berat diserap oleh industri pertambangan. Sisanya diserap oleh pelaku usaha di sektor konstruksi, kehutanan, dan agrikultura. "Pelaku akan ambil kesempatan karena jarang (harga komoditas menguat)," ucapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Hinabi mencatat dalam dua tahun terakhir ada kenaikan produksi alat berat. Pada 2016 produksi mencapai 3.678 unit dan pada 2017 sebanyak 5.609 unit. Pada kuartal pertama 2018 sudah 1.684 unit yang diproduksi.
Salah satu pelaku usaha di sektor penjualan alat berat, PT United Tractors Tbk, menyatakan unit usaha mesin konstruksi masih akan menjadi andalan di tahun ini. Direktur Keuangan United Tractors Iwan Hadiantoro mengatakan, memasuki kuartal pertama 2018, terjadi pertumbuhan penjualan sebesar 38 persen atau 1.171 unit.
Pada kuartal pertama 2017, total penjualan mencapai 847 unit. "Kami targetkan penjualan di 2018 sebanyak 4.200-4.500 unit," ucap Iwan. Sepanjang 2017 total mesin konstruksi yang dijual mencapai 3.788 unit.
Meski demikian, menurut Iwan, perusahaan tidak akan terus mengandalkan segmen mesin konstruksi. Ke depan, United Tractors akan mengembangkan konstruksi dan energi. "Dalam dua hingga tiga tahun ke depan akan diversifikasi ke sektor lain," katanya.
Ia menyatakan, saat ini, sebagian besar kinerja perusahaan, yaitu hampir 80 persen, masih bergantung pada mesin konstruksi dan pertambangan. Sedangkan pergerakan harga komoditas, khususnya batu bara, lebih volatile (mudah berubah). Karena itu, Iwan mengatakan, upaya diversifikasi diperlukan agar United Tractors bisa terus berkembang. "Kami upayakan tidak tergantung ke batu bara (pertambangan)," ucapnya.
United Tractors mempunyai lima sektor usaha yang dijalankan, yaitu penjualan mesin konstruksi, kontraktor penambangan, pertambangan batu bara, industri konstruksi, dan energi. Dua penyumbang pendapatan terbesar datang dari penjualan alat berat dan kontraktor penambangan.
Iwan menyebutkan, saat ini, kontribusi dari unit usaha di luar pertambangan dan mesin konstruksi, yaitu konstruksi dan penambangan, baru sekitar 20 persen. Nantinya angka kontribusi itu dinaikkan menjadi 30-44 persen. Menurut dia, ke depan, PT Acset Indonusa Tbk dan unit usaha di sektor energi akan menjadi tulang punggung perusahaan. "Sektor konstruksi (Acset) bisa long term (jangka panjang)," tuturnya.
Sedangkan di sektor energi, United Tractors baru memulai membangun dua unit pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Kedua PLTU itu ialah PLTU Pama I yang memiliki kapasitas 2x15 megawatt dan PLTU Jawa-4 atau Tanjung Jati berkapasitas 2x1.000 megawatt. Menurut Iwan, perusahaan menyiapkan investasi US$ 4 miliar untuk kedua proyek PLTU itu.
Analis PT Narada Kapital Indonesia, Kiswoyo Adi Joe, menilai langkah United Tractors melakukan diversifikasi unit usaha cukup strategis. Ia menilai kebijakan itu bisa dilakukan karena perusahaan industri tersebut mempunyai arus kas yang besar, yaitu Rp 18 triliun, pada kuartal pertama 2018. "Dengan dana sebesar itu, perusahaan bisa lakukan ekspansi," katanya.