Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SENGKETA harta karun H.A. Thahir akan diselesaikan di luar
pengadilan? Itu yang pekan lalu beredar di sementara kalangan
bisnis di Singapura. Dalam sebuah memo kepada korespondennya di
Jakarta, suatu kantor berita asing di Singapura menyebutkan
adanya spekulasi itu. Seorang pengacara muda di Jakarta, yang
baru kembali dari Kota Singa, mendengar dari beberapa rekannya,
kemungkinan Pertamina "menempuh jalan damai".
Tak begitu jelas apa Sebab sampai timbul dugaan yang bisa I
menjatuhkan nama baik pemerintah Indonesia. Ada yang bilang itu
disebabkan pembelaan Ny. Kartika Ratna di pengadilan Singapura 7
Juli lalu. Di situ istri muda almarhum H.A. Thahir--yang
bernafsu memperoleh harta karun yang disimpan suaminya di Bank
Sumitomo cabang Singapura (sebesar Rp 22 I milyar lebih) -telah
membawa-bawa pejabat tinggi Indonesia, termasuk Presiden
Soeharto dan Ny.Tien.
Tapi dugaan seperti itu dibantah Albert Hasibuan. Kepada
TEMPO pekan lalu, pengacara Pertamina itu berkata "Samasekali
tidak betul ada usaha untuk mencari perdamaian di luar
pengadilan antara Ny. Kartika dengan Pertamina." Malahan,
menurut Albert, yang terjadi adalah sebaliknya. "Tim pembela
Pertamina bulan depan akan mengajukan permohonan agar
pengadilan membuka rekening almarhum Haji Thahir dan Ny. Kartika
yang ada di Bank Sumitomo cabang Singapura," katanya.
Skandal
Pertamina, lewat pengacaranya, juga sudah menjawab, serangan
yang dilancarkan oleh Kartika bulan Juli itu. Bertanggal 25
Oktober , jawaban Pertamina itu cukup keras. Disebutkan misalnya
bahwa pembelaan Ny. Kartika terhadap tuntutan Pertimina--yang
diajukan ke pengadilan Singapura 12 Mei 1980 -adalah tidak
bonafid. Pertamina sebagai penggugat, berpendapat pembelaan
tergugat pertamina itu bahkan "bersifat skandal" .
Salah satu ialah tuduhan Ny. Kartika tentang rencana
pendirian pabrik semen di Sumatera adi akhir 1974. Dibiayai
bersama oleh Ibnu Sutowo dan Thahir, adalah Jusuf
Wibisono--bekas Menteri Keuanga n Rl dan kini Dir-Ut Bank
Perdania-- yang disebut akan duduk sebagai direktur pelaksana
pabrik itu. Biayapendirian pabrik disebut akan menelan DM 50 -
DM 60 juta (1 DM = Rp 330). Dan H.A. Thahir, menurut Kartika,
akan membiayainya dari simpanannya di Bank Sumitomo itu.
Ternyata, seperti diungkapkan dalam tangkisan Pertamina, tak
pernah ada usaha yang menyetujui atau diberikan oleh pemerintah
terhadap rencana pendirian pabrik semen seperti dikemukakan Kartika.
Dan Jusuf Wibisono merasa tak pernah berminat . . . dan tak
pernah ditanya atau pun akan menyetujui untuk duduk sebagai
managing director dari perusahaan tersebut.
Lalu tentang Ir. Soediono, Direktur Muda Eksplorasi semasa
Ibnu Sutowo. Oleh Kartika disebutkan bahwa Soediono menjelang
akhir 1975 telah berkunjung ke rumah almarhum Thahir di Jakarta,
dan menganjurkannya agar dia menanamkan sejumlah DM 30 juta dari
simpanannya itu ke dalam perusahaan pipa baja yang rencananya
akan dibangun perusahaan swasta Jerman Barat Mannesman AG.
Menurut Pertamina, Soediono tak punya kepentingan dengan
tender-tender Mannesman AG. Perusahaan itu tak mempunyai rencana
untuk membangun sebuah pabrik pipa baja di Jakarta. Tapi diakui
bahwa Soediono mungkin bertindak sebagai pensuplai dari produk
pipa baja yang sudah jadi untuk pabrik pupuk yang menggunakan
bahan gas.
Menarik adalah jawaban Pertamina atas diri bekas Dir-Ut PT
Krakatau Steel, Marjoeni Warganegara. Selain membantah Marjoeni
pernah menerima komisi dari para kontraktor Jerman Barat di
proyek itu, jawaban Pertamina menyatakan bahwa Marjoeni telah
diberhentikan sebagai dir-ut Krakatau Steel pada 14 April 1975.
Bukan sampai awal 1976 seperti disebutkan dalam pembelaan
Kartika.
Patut diketahui, Marjoeni diberhentikan-oleh pemerintah
gara-gara kemelut keuangan dalam proyek besi baja di Cilegon
itu.
Pengacara Pertamina juga membantah adanya usaha patungan
antara Thahir bersama Henry Kwee, pengusahaterkenal di Singapura
asal Indonesia dan Liem Sioe Liong, pengusaha tersohor di
Indonesia. Mereka oleh Kartika disebutkan telah mendirikan
kontraktor First Realty International Corporation of Singapore .
Perusahaan real estate tersebut pernah menjadi pemborong
dari proyek perumahan Pertamina Village dan gedung Pertamma
Tower, keduanya di Jakarta. Oleh Pertamina diakui bahwa Ibrahim
Thahir, putra sulung almarhum H.A Thahir dari istri pertama,
memiliki saham 5% secara sah.
Banyaknya lagi tuduhan janda itu yang ditangkis pengacara
Pertamina. Termasuk tuduhannya bahwa Presiden menerima komisi
dari pembelian senjata. Tuduhan yang tak berdasar ini, menurut
pembelaan Kartika, didengarnya ketika Letjen Benny Moerdani,
perwira tinggi Bakin, menemuinya 18 Juni 1978 di Swiss. Menurut
Kartika, Presiden telah menerima komisi dari pembelian senjata
untuk ABRI di tahun 1978. Masingmasing 7% dan 5%, dari Israel
dan Jerman Barat.
Tuduhan-tuduhan itu tak disertai bukti. Baik Thahir maupun
Benny Moerdani tak pernah bertugas untuk membeli senjata. Dan
pemerintah Indonesia, menurut jawaban Pertamina itu, tak pernah
membeli senjata apa pun di Israel.
Di akhir jawabannya pengacara Pertamina seperti mengajukan
suatu himbauan kepada pengadilan Singapura. Disebutkan di situ
bahwa apa yang menjadi kejahatan di Indonesia juga merupakan
kejahatan di Singapura. "Maka akan bertentangan dengan rasa
hormat dari negara-negara yang bersahabat dan bertentangan
dengan kebijaksanaan umum internasional . . . yang
memperbolehkan atau mengizinkan penghasilan dari kejahatan itu
dibayarkan untuk keuntungan pihak yang bersalah . . . "
Beberapa pengamat beranggapan jawaban Pertamina itu banyak
lubangnya. Di sana-sini nampak lemah. Misalnya dalam soal
tuduhan Kartika mengenai uang komisi dari pembelian senjata,
disebutkan bahwa almarhum Haji Thahir dan Letjen Benny Moerdani
tak pernah melakukan pembelian senjata. Suatu hal yang tak
disebutkan dalam pembelaan wanita yang dikabarkan bermukim di
Swiss itu.
Tapi menurut Albert Hasibuan, "itulah hasil maksimal yang
bisa dibuat." Dan jawaban tersebut, katanya, adalah hasil tim
pembela Pertamina, termasuk Michael Sherrard, Queen's Counsel di
London.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo