Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jalan Damai Buat Kartika ?

Pertamina melalui pengacaranya menjawab serangan Kartika Thahir mengenai uang HA Thahir (alm) di Bank Sumitomo Singapura. Terjadi spekulasi bahwa sengketa akan diselesaikan di luar pengadilan.

8 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENGKETA harta karun H.A. Thahir akan diselesaikan di luar pengadilan? Itu yang pekan lalu beredar di sementara kalangan bisnis di Singapura. Dalam sebuah memo kepada korespondennya di Jakarta, suatu kantor berita asing di Singapura menyebutkan adanya spekulasi itu. Seorang pengacara muda di Jakarta, yang baru kembali dari Kota Singa, mendengar dari beberapa rekannya, kemungkinan Pertamina "menempuh jalan damai". Tak begitu jelas apa Sebab sampai timbul dugaan yang bisa I menjatuhkan nama baik pemerintah Indonesia. Ada yang bilang itu disebabkan pembelaan Ny. Kartika Ratna di pengadilan Singapura 7 Juli lalu. Di situ istri muda almarhum H.A. Thahir--yang bernafsu memperoleh harta karun yang disimpan suaminya di Bank Sumitomo cabang Singapura (sebesar Rp 22 I milyar lebih) -telah membawa-bawa pejabat tinggi Indonesia, termasuk Presiden Soeharto dan Ny.Tien. Tapi dugaan seperti itu dibantah Albert Hasibuan. Kepada TEMPO pekan lalu, pengacara Pertamina itu berkata "Samasekali tidak betul ada usaha untuk mencari perdamaian di luar pengadilan antara Ny. Kartika dengan Pertamina." Malahan, menurut Albert, yang terjadi adalah sebaliknya. "Tim pembela Pertamina bulan depan akan mengajukan permohonan agar pengadilan membuka rekening almarhum Haji Thahir dan Ny. Kartika yang ada di Bank Sumitomo cabang Singapura," katanya. Skandal Pertamina, lewat pengacaranya, juga sudah menjawab, serangan yang dilancarkan oleh Kartika bulan Juli itu. Bertanggal 25 Oktober , jawaban Pertamina itu cukup keras. Disebutkan misalnya bahwa pembelaan Ny. Kartika terhadap tuntutan Pertimina--yang diajukan ke pengadilan Singapura 12 Mei 1980 -adalah tidak bonafid. Pertamina sebagai penggugat, berpendapat pembelaan tergugat pertamina itu bahkan "bersifat skandal" . Salah satu ialah tuduhan Ny. Kartika tentang rencana pendirian pabrik semen di Sumatera adi akhir 1974. Dibiayai bersama oleh Ibnu Sutowo dan Thahir, adalah Jusuf Wibisono--bekas Menteri Keuanga n Rl dan kini Dir-Ut Bank Perdania-- yang disebut akan duduk sebagai direktur pelaksana pabrik itu. Biayapendirian pabrik disebut akan menelan DM 50 - DM 60 juta (1 DM = Rp 330). Dan H.A. Thahir, menurut Kartika, akan membiayainya dari simpanannya di Bank Sumitomo itu. Ternyata, seperti diungkapkan dalam tangkisan Pertamina, tak pernah ada usaha yang menyetujui atau diberikan oleh pemerintah terhadap rencana pendirian pabrik semen seperti dikemukakan Kartika. Dan Jusuf Wibisono merasa tak pernah berminat . . . dan tak pernah ditanya atau pun akan menyetujui untuk duduk sebagai managing director dari perusahaan tersebut. Lalu tentang Ir. Soediono, Direktur Muda Eksplorasi semasa Ibnu Sutowo. Oleh Kartika disebutkan bahwa Soediono menjelang akhir 1975 telah berkunjung ke rumah almarhum Thahir di Jakarta, dan menganjurkannya agar dia menanamkan sejumlah DM 30 juta dari simpanannya itu ke dalam perusahaan pipa baja yang rencananya akan dibangun perusahaan swasta Jerman Barat Mannesman AG. Menurut Pertamina, Soediono tak punya kepentingan dengan tender-tender Mannesman AG. Perusahaan itu tak mempunyai rencana untuk membangun sebuah pabrik pipa baja di Jakarta. Tapi diakui bahwa Soediono mungkin bertindak sebagai pensuplai dari produk pipa baja yang sudah jadi untuk pabrik pupuk yang menggunakan bahan gas. Menarik adalah jawaban Pertamina atas diri bekas Dir-Ut PT Krakatau Steel, Marjoeni Warganegara. Selain membantah Marjoeni pernah menerima komisi dari para kontraktor Jerman Barat di proyek itu, jawaban Pertamina menyatakan bahwa Marjoeni telah diberhentikan sebagai dir-ut Krakatau Steel pada 14 April 1975. Bukan sampai awal 1976 seperti disebutkan dalam pembelaan Kartika. Patut diketahui, Marjoeni diberhentikan-oleh pemerintah gara-gara kemelut keuangan dalam proyek besi baja di Cilegon itu. Pengacara Pertamina juga membantah adanya usaha patungan antara Thahir bersama Henry Kwee, pengusahaterkenal di Singapura asal Indonesia dan Liem Sioe Liong, pengusaha tersohor di Indonesia. Mereka oleh Kartika disebutkan telah mendirikan kontraktor First Realty International Corporation of Singapore . Perusahaan real estate tersebut pernah menjadi pemborong dari proyek perumahan Pertamina Village dan gedung Pertamma Tower, keduanya di Jakarta. Oleh Pertamina diakui bahwa Ibrahim Thahir, putra sulung almarhum H.A Thahir dari istri pertama, memiliki saham 5% secara sah. Banyaknya lagi tuduhan janda itu yang ditangkis pengacara Pertamina. Termasuk tuduhannya bahwa Presiden menerima komisi dari pembelian senjata. Tuduhan yang tak berdasar ini, menurut pembelaan Kartika, didengarnya ketika Letjen Benny Moerdani, perwira tinggi Bakin, menemuinya 18 Juni 1978 di Swiss. Menurut Kartika, Presiden telah menerima komisi dari pembelian senjata untuk ABRI di tahun 1978. Masingmasing 7% dan 5%, dari Israel dan Jerman Barat. Tuduhan-tuduhan itu tak disertai bukti. Baik Thahir maupun Benny Moerdani tak pernah bertugas untuk membeli senjata. Dan pemerintah Indonesia, menurut jawaban Pertamina itu, tak pernah membeli senjata apa pun di Israel. Di akhir jawabannya pengacara Pertamina seperti mengajukan suatu himbauan kepada pengadilan Singapura. Disebutkan di situ bahwa apa yang menjadi kejahatan di Indonesia juga merupakan kejahatan di Singapura. "Maka akan bertentangan dengan rasa hormat dari negara-negara yang bersahabat dan bertentangan dengan kebijaksanaan umum internasional . . . yang memperbolehkan atau mengizinkan penghasilan dari kejahatan itu dibayarkan untuk keuntungan pihak yang bersalah . . . " Beberapa pengamat beranggapan jawaban Pertamina itu banyak lubangnya. Di sana-sini nampak lemah. Misalnya dalam soal tuduhan Kartika mengenai uang komisi dari pembelian senjata, disebutkan bahwa almarhum Haji Thahir dan Letjen Benny Moerdani tak pernah melakukan pembelian senjata. Suatu hal yang tak disebutkan dalam pembelaan wanita yang dikabarkan bermukim di Swiss itu. Tapi menurut Albert Hasibuan, "itulah hasil maksimal yang bisa dibuat." Dan jawaban tersebut, katanya, adalah hasil tim pembela Pertamina, termasuk Michael Sherrard, Queen's Counsel di London.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus