Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jamu Jamu Indonesia dan Proteksi ala Malaysia

Ekspor jamu Indonesia ke Malaysia terhambat karena bahasa pada kemasan jamu bukan bahasa Melayu. Inikah proteksi terselubung untuk jamu lokal? Bagaimana komitmen menyambut AFTA?

4 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CHARLES SAERANG, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Jamu Indonesia, 48 tahun, belakangan ini susah tersenyum. Pikirannya seakan tersumbat. Ia tak kunjung mengerti kenapa dua tahun terakhir pemerintah Malaysia makin memperketat arus masuk jamu dari Indonesia. Lelaki kelahiran Semarang itu khawatir, jika kebijakan itu tetap diberlakukan, arus ekspor jamu Indonesia ke negeri jiran itu akan merosot. Memang, ada alasan di balik larangan itu. Intinya: jamu Indonesia boleh beredar di Malaysia asalkan bahasa dalam kemasan jamu dialihkan ke bahasa Melayu. Kalau benar itulah alasannya, sungguh mengada-ada. Soalnya, jamu yang berasal dari Cina, India, dan Thailand masih tetap bebas dipasarkan di Malaysia dalam bahasa asli mereka. "Ini namanya diskriminasi bahasa. Dan itu dimungkinkan menjadi bagian dari proteksi untuk melindungi jamu produk Malaysia," kata Charles kepada TEMPO, pekan lalu. Kebijakan diskriminatif itu membuat produsen jamu di sini kelabakan. Maklum, walaupun Malaysia juga memiliki jamu tradisional yang produknya mirip jamu Indonesia, negara itu tetap merupakan pasar potensial bagi jamu buatan Indonesia. Dalam kondisi normal, nilai ekspor jamu Indonesia ke sana bisa mencapai Rp 50 miliar-Rp 60 miliar per tahun. Angka itu antara lain disumbang oleh PT Nyonya Meneer, Semarang, sebesar Rp 12 miliar per tahun. Jamu Nyonya Meneer sudah masuk ke Malaysia sejak 1980-an dan menguasai hampir 34 persen pasar di sana. Kini, dengan adanya "proteksi terselubung" melalui kebijakan sulih bahasa, produsen Nyonya Meneer seperti merasa ditonjok. Tengok saja, di gudangnya stok senilai Rp 8 miliar-Rp 10 miliar menumpuk. Urusan stok ini belum lagi teratasi, sebuah pukulan telak hampir membuatnya "berkunang-kunang". Charles, Direktur PT Nyonya Meneer, mengeluh. "Kiriman satu kontainer produk kami senilai Rp 1 miliar baru saja dikembalikan karena masih menggunakan bahasa Indonesia," katanya, gundah. Produsen jamu Indonesia sebenarnya tidak keberatan mengubah bahasa dalam kemasan produknya. Tapi, sesudah itu akan timbul masalah baru. Selain tidak gampang mencari padanan kata-kata Indonesia dalam bahasa Melayu?seperti Galian Singset, Galian Rapet, Pria Jantan?penggantian bahasa justru akan jadi bumerang. Sejumlah produsen yang melakukan perubahan bahasa mendapati bahwa produknya malah jadi kurang laku. Lekatnya konsumen Malaysia dengan jamu Indonesia?sementara larangan memasukkan jamu berbahasa Indonesia makin ketat?juga menimbulkan persoalan baru, yakni pasar gelap. Charles menduga, rute yang biasa ditembus untuk memasok jamu ilegal ke Malaysia adalah lewat Riau atau Medan. Dengan begitu, meski ada larangan, suplai tetap jalan terus. Dugaan itu mungkin ada benarnya. Saat TEMPO melakukan pemantauan di sejumlah toko jamu di Johor Baru, Malaysia, sebagian besar produk yang ditawarkan adalah jamu dengan kemasan berbahasa Indonesia. Dari seluruh mata dagangannya, di toko milik Muhammad Noor bin Silong di kawasan City Suara terdapat 85 persen jamu Indonesia. Hal yang sama ditemukan di toko jamu milik Awaludin di lantai II terminal bus "Larkin". Noor membenarkan bahwa jamu Indonesia sangat disukai warga setempat. Selain kualitasnya sangat baik, harganya juga terjangkau kalangan menengah ke bawah. Jika dibandingkan dengan jamu "Herba" buatan Malaysia, rata-rata harga jamu Indonesia 30 persen lebih murah. Saat ditanya mengenai larangan pemerintah Malaysia terhadap produk jamu Indonesia, Noor tampak tak percaya. "Sejauh ini belum ada larangan dari jawatan setempat untuk menjual jamu dari Indonesia," katanya, memastikan. Pernyataan lebih tegas disampaikan Hairul Anwar dari Kementerian Bidang Perdagangan Malaysia Cawangan (Perwakilan) Johor Baru. "Setahu saya, pemerintah kami tidak pernah melarang jamu asal Indonesia," katanya kepada Rumbadi Dalle dari TEMPO. Kalaupun ada larangan, kebijakan itu diberlakukan jika kandungan produk tidak sesuai dengan ketentuan. Jadi, bukan karena faktor bahasa dalam kemasan produknya. Ditanya mengenai tudingan proteksi, Hairul Anwar tak berkomentar sama sekali. Sebagai sesama anggota ASEAN yang terikat dalam kerja sama AFTA (kawasan perdagangan bebas ASEAN)?dimulai pada 2003?proteksi sedapatnya dihilangkan. Buktinya, obat-obatan Malaysia bebas beredar di Indonesia. Bahwa ada upaya untuk melakukan "proteksi terselubung", tentu tak bisa didiamkan. Hadi Syarifuddin, Kepala Bidang Ekonomi Konsulat RI di Johor Baru, menilai bahwa usaha untuk memproteksi jamu buatan Malaysia dari serbuan jamu Indonesia memang ada. Sebab, saat ini Malaysia tengah bergiat mengembangkan jamu "Herba". Namun, sampai kini di sana belum ada perusahaan jamu berskala besar. Proteksi dengan sulih bahasa mungkin sengaja dilakukan agar jamu Malaysia itu kelak memiliki prospek cerah. Lalu, apa kata Jaya Suprana, bos PT Jamu Jago? "Jika pelarangan karena faktor bahasa itu benar dan hanya diberlakukan bagi Indonesia, kita tidak akan tinggal diam." Dwi Wiyana, Bandelan Amarudin (Semarang), Rinny Srihartini (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus