Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hubungan Indonesia dengan Dana Moneter Internasional (IMF) mungkin bakal kembali meregang pekan-pekan ini. Penyebabnya: kemungkinan gagalnya penjualan saham pemerintah di Bank BCA dan Bank Niaga. Salah satu indikasinya adalah penolakan sejumlah anggota DPR terhadap rencana pemerintah tersebut. Jika pernyataan tersebut pada akhirnya menjadi sikap dewan, pemerintah tak punya pilihan lain kecuali menunda divestasi. Pada gilirannya, pemerintah akan berhadapan dengan IMF. Buntutnya pun bisa ditebak: IMF akan kembali menunda pencairan pinjaman senilai US$ 400 juta.
Boleh jadi, IMF akan benar-benar patah arang. Oktober tahun lalu, IMF sempat berang ketika pemerintah menunda divestasi sahamnya di kedua bank publik tersebut. Dalam berbagai kesempatan, IMF selalu mempertanyakan keputusan penundaan itu. Bahkan IMF menyebut masalah itu sebagai salah satu kegagalan pemerintah Indonesia menepati letter of intent (LoI) yang ditekennya sendiri. Dalam World Economic Forum yang berlangsung di Davos, Swiss, dua pekan lalu, Deputi Direktur Pelaksana IMF, Stanley Fischer, kembali mengungkit masalah tersebut.
Menurut Paskah Suzetta dari Komisi IX DPR RI, penolakan DPR bersumber pada rencana penjualan yang tidak tepat waktu dan harga yang kelewat murah. Sumber-sumber DPR menyebutkan bahwa pemerintah hanya memberi target BPPN Rp 1,78 triliun untuk 70 persen saham bank yang dulunya dimiliki keluarga Salim tersebut. Padahal, menurut Direktur Utama Bank BCA, D.E. Setijoso, dengan harga saham Rp 1.600-an, saham BCA mestinya dinilai Rp 3,5 triliun. Analis perbankan Mirza Adityaswara juga sepakat dengan penilaian Setijoso. Mirza menghitung, jika didasarkan pada nilai buku, harga 70 persen saham BCA akan sebesar Rp 2,88 triliun sampai Rp 3,2 triliun.
Terang saja Paskah dan beberapa anggota DPR yang lain menolak. Bahkan, kata Paskah, jika pun dijual dengan harga pasarnya, DPR tetap akan menolak rencana tersebut. "Lo, pemerintah kan sudah mengeluarkan Rp 28,5 triliun untuk merekap BCA, kok penjualannya cuma Rp 3,5 triliun," kata Paskah. Anggota DPR dari Golkar ini menegaskan bahwa DPR tidak akan memberi lampu hijau kepada pemerintah selama harga jualnya jauh di bawah biaya rekap. "DPR tetap akan menuntut harga jual BCA minimum 50 persen biaya rekap," kata Paskah. Dia merujuk pada Undang-Undang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000, yang menyebutkan tingkat pengembalian uang negara (asset recovery) sebesar 70 persen.
Namun, Ketua Komisi IX DPR RI, Benny Pasaribu, secara diplomatis menjawab pertanyaan apakah DPR akan menolak rencana tersebut. "Ukurannya bukan soal apakah saham itu harus dijual sekarang atau tidak, melainkan apakah penerimaan negara bisa maksimal," katanya. Dia membandingkan hasil penjualan saham itu dengan dividen yang bisa diperoleh jika BCA tetap dikuasai pemerintah. Berdasarkan keterangan Setijoso di DPR, Rabu pekan lalu, BCA berhasil meraih laba sebelum pajak pada tahun 2000 sebesar Rp 1,6 triliun. Menurut Benny, kalau perolehan dividen lebih besar, mengapa harus dijual? Apalagi kondisi BCA sudah lumayan bagus, terutama setelah kredit bermasalahnya dibersihkan.
Nah, keruwetan ini bakal dibahas DPR bersama pemerintah pekan-pekan ini. Menurut Benny, kemungkinan besar keputusan sudah bisa diambil pertengahan bulan ini. Jika benar DPR menolak, pemerintah harus mencari penggantinya. Benny dan Paskah sama-sama yakin masih ada peluang lain ketimbang pemerintah terburu-buru menjual BCA dengan harga murah.
M.T.Q., Dewi Rina Cahyani, Leanika Tanjung, Agus Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo