Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jurus Bertahan Perbankan Syariah

Tergerus pembiayaan komoditas, bank syariah mulai menutup sejumlah kantor cabang. Membidik pasar kredit korporasi.

26 September 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PT Bank Muamalat Indonesia Tbk mendadak gencar merambah pasar kredit korporasi. Dalam selang waktu dua hari, perusahaan ini mengumumkan dua pembiayaan bernilai jumbo. Selasa pekan lalu, bank syariah pertama di Indonesia ini memberikan line facility al-murabahah kepada PT Duta Mentari Raya sebesar Rp 75 miliar. Dana ini dicurahkan untuk membangun pabrik pengolah kelapa sawit di Sengingi, Riau. "Ini salah satu inisiasi strategis Bank Muamalat dalam bidang pembiayaan bisnis korporasi," kata Direktur Bisnis Korporasi Bank Muamalat Indra Y. Sugiarto saat penandatanganan akad pembiayaan.

Dua hari kemudian, Muamalat memimpin sindikasi pembiayaan proyek jalan tol Soreang-Pasir Koja (Soroja) di Bandung senilai Rp 834 miliar. Kali ini mereka bekerja sama dengan sejumlah unit usaha syariah bank pembangunan daerah, yakni Bank Jateng Syariah, Bank DIY Syariah, Bank Sumut Syariah, Bank Kalsel Syariah, dan Bank Sulselbar Syariah. Inilah proyek infrastruktur pertama di Indonesia yang sepenuhnya didanai perbankan syariah. Sindikasi ini bahkan berencana membiayai proyek jalan tol Batang-Semarang.

Pergeseran pasar itu, kata Indra, antara lain untuk memperbaiki likuiditas perusahaan. Indra mengatakan kinerja keuangan sempat tertekan oleh kualitas pembiayaan sektor komoditas, terutama batu bara. Sebab, harga emas hitam dunia merosot sejak lima tahun silam. Akibatnya, "Kualitas pembiayaan sektor komoditas anjlok tiga tahun terakhir," ucapnya pekan lalu.

Itu sebabnya, bank memperketat penyaluran kredit konsumen, retail, dan korporasi. Pembiayaan sektor kebutuhan primer, kelapa sawit, properti, dan infrastruktur kini menjadi pilihan. "Meski turun, harga sawit masih bagus dan bertahan, tak seperti komoditas lain," ujar Indra.

Harga komoditas yang loyo dirasakan juga oleh sejumlah bank syariah lain. Dampaknya, rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) bank-bank syariah melonjak melampaui batas yang ditetapkan Bank Indonesia. Pada akhir 2015, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat tingkat BOPO bank umum syariah mencapai 97,01 persen, lebih tinggi dibanding Desember 2014 yang hanya 96,97 persen. Kemampuan bank mengendalikan efisiensi bahkan jebol pada Mei lalu. Nilai BOPO mencapai 99,04 persen. Padahal bank sentral mematok rasio efisiensi maksimal 80 persen—tergantung jenis bank umum kelompok usahanya.

Menurut pengamat perbankan syariah Ikatan Ahli Ekonomi Islam, Ahmad Ifham Solihin, sumber utama merosotnya kemampuan bank syariah adalah manajemen yang buruk. Umumnya pengurus kantor cabang tak mampu memperbaiki pembiayaan yang macet. Padahal biaya operasional tak bisa ditekan. "Efisiensi paling gampang, ya, menutup kantor dan anjungan tunai mandiri," katanya.

Pertumbuhan bank syariah, menurut Ifham, tidak terlalu istimewa. Memang, total aset 12 bank umum syariah tercatat Rp 216,118 triliun. Jika ditambah 22 unit usaha syariah dan 165 bank pembiayaan rakyat syariah, seluruh aset menjadi Rp 306,23 triliun, tumbuh Rp 11,97 triliun dibanding Juni tahun lalu. Rasio laba juga meningkat. Adapun rasio kecukupan modal bank syariah saat ini di level 14,72 persen. Angka kredit macet brutonya menembus ambang batas 5 persen.

Jauh sebelum ini terjadi, otoritas pernah mengingatkan perbankan syariah agar berhati-hati menjaga keseimbangan neraca keuangan. Deputi Pengawas Perbankan 1 Otoritas Jasa Keuangan Mulya Siregar mengatakan bank syariah terlalu gencar berekspansi ketika tren ekonomi syariah meningkat pada 2010-2013.

Tanpa merancang skenario terburuk—misalnya jebloknya harga komoditas—pertumbuhan perbankan syariah dikhawatirkan kempis. Apalagi, kata Mulya, laju perbankan syariah sangat bergantung pada kondisi pasar riil. "Saya sudah bilang, kalau terlalu cepat, ini bisa membuat kalian tersandung," ujar Mulya, yang saat itu menjadi Kepala Departemen Perbankan Syariah.

Nasib yang sama sebenarnya dialami perbankan umum. Persoalannya, bank syariah tak bisa "menyelamatkan diri" dengan bermain di pasar uang atau melakukan transaksi derivatif seperti bank konvensional.

Menurut Mulya, ekspansi kantor cabang yang tak diimbangi percepatan jumlah karyawan berkualitas hanya membuat manajemen amburadul. "Manusianya belum siap jadi kepala kantor cabang," katanya.

Walhasil, diet ketat merupakan salah satu cara rasional yang bisa ditempuh. Bank Muamalat Indonesia, misalnya, berusaha melakukan efisiensi besar-besaran dengan menutup sembilan kantor cabang pembantu di Sumatera Utara dan satu kantor cabang di Sentani, Papua, pada Agustus lalu.

Begitu pula Bank Syariah Mandiri. Juru bicara Bank Syariah Mandiri, Dharmawan Hadad, mengatakan penutupan kantor jaringan dilakukan berdasarkan evaluasi kinerja serta mempertimbangkan akses lokasi bank. Kantor cabang pembantu yang berdekatan dengan kantor induk tentu akan dihapus. "Kalau jumlah nasabah menurun, akan berpengaruh ke kinerja," ujarnya. Menurut dia, kebijakan penutupan ini tak hanya terjadi di bank syariah, tapi menjadi rencana korporasi 2016-2020. Dia menjamin tak akan ada penutupan kantor lagi hingga Desember tahun ini.

Dalam catatan OJK, banyak bank menutup kantor cabang pembantu dan kantor kas untuk efisiensi. Akibatnya, jumlah jaringan bank syariah secara nasional terus menurun sejak 2014. Semula 2.163 unit, kini tersisa 1.807 kantor dari 12 bank umum syariah yang terdaftar.

Di tengah situasi saat ini, Direktur Utama PT BRI Syariah Hadi Santoso yakin mampu bertahan tanpa harus melakukan efisiensi dengan mengurangi unit cabang. "Kami bisa menangani. Insya Allah, kami malah mau jual sukuk," kata Hadi.

OJK menilai suntikan likuiditas bukan satu-satunya jalan keluar agar bank syariah bisa tumbuh. Menurut Mulya, penambahan modal dapat berdampak positif jika permintaan kredit meningkat. Nyatanya, permohonan pinjaman ke bank syariah ataupun bank konvensional merosot.

Direktur Utama PT BNI Syariah Imam Teguh Saptono mengatakan perbaikan internal bank syariah juga bergantung pada kondisi ekonomi global. Beruntung, kata dia, pemerintah mulai melibatkan bank syariah sebagai mitra. Salah satunya dengan mendirikan Komite Nasional Keuangan Syariah untuk mendorong industri ini. Diketuai Presiden Joko Widodo, komite ini beranggotakan Menteri Keuangan, Menteri Badan Usaha Milik Negara, Menteri Agama, Gubernur Bank Indonesia, Ketua OJK, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan.

Di tengah ketidakpastian ekonomi global, Muamalat melancarkan strategi baru. Bank ini, misalnya, menerbitkan pembiayaan kredit rumah dengan uang muka dan angsuran ringan serta meluncurkan aplikasi mobile banking dengan transfer maksimum Rp 1 miliar melalui real-time gross settlement system. "Kami coba memberi pelayanan dan kenyamanan kepada konsumen, bukan cuma menawarkan konsep halal dan haram," kata Direktur Keuangan Bank Muamalat Hery Syafril.

Strategi lain seperti yang dilakoni Bank Syariah Mandiri, yakni menggenjot segmen retail berupa gadai dan cicil emas untuk meningkatkan portofolio. Semua kantor cabang melayani cicilan emas. Bank juga meluncurkan layanan Payment Point Online Bank atau penyedia jasa pembayaran dalam jaringan berbasis masjid. Nasabah pun dapat melakukan transaksi pembayaran di loket masjid.

Putri Adityowati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus