Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Begitu diangkat menjadi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman pada 12 Agustus 2015 dalam reshuffle kabinet jilid I, nama Rizal Ramli langsung mencuat lewat pernyataan-pernyataannya yang kontroversial.
Bahkan kepretan Rizal Ramli ke sana ke mari itu, tak ayal membuat Istana gerah. Sampai-sampai Presiden Joko Widodo akhirnya turun tangan menengahi perseteruan Wakil Presiden Kalla dengan Menteri Rizal Ramli. Pada 19 Agustus, Jokowi mempertemukan Kalla dengan Rizal dalam sidang kabinet di Istana.
Namun saat dikonfirmasi Tempo, 19 Agustus 2015, Rizal Ramli mengaku tidak mendapat teguran apa pun dari Presiden. "Jokowi senang sama tipe petarung seperti saya," katanya sambil tertawa. "Ini shock therapy."
Menurut Rizal, polemik dirinya dengan Wakil Presiden merupakan hal biasa. "Indonesia perlu perubahan, transformasi, dan ini bagian dari revolusi mental," kata pria kelahiran Padang, 10 Desember 1954 ini.
Kemungkinan karena pernyataan-pernyataannya yang sering membuat berang, bahkan di pemerintahan Jokowi sendiri, Rizal Ramli menjadi populer.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dan Datalyst selama periode 12 Agustus hingga 13 November 2015, Rizal Ramli adalah menteri yang paling populer dibicarakan oleh para netizen. Kedua, selain paling populer, Rizal Ramli juga menjadi menteri yang memiliki citra paling positif di mata publik.
Ami Ramadiah, peneliti Datalyst, mengatakan kepopuleran seorang menteri dapat disebabkan oleh dua hal, yakni karena memiliki citra positif atau sebaliknya di mata publik.
Sementara peneliti Indef Dzulfian Syafrian mengatakan, Rizal Ramli menjadi paling populer sebab ia memiliki keterkaitan dengan cadangan emas Freeport dan nilai tukar rupiah yang baru-baru ini hangat dibicarakan. Padahal, pernyataan-pernyataan itu sering tak didukung data.
Pernyataan Rizal Ramli soal rupiah bisa menguat ke Rp 2.000 per dolar Amerika Serikat misalnya, menurut Dzulfian, tidak didukung dengan data dan perhitungan yang mendasar.
Sehingga, Dzulfian menyimpulkan, popularitas tinggi dan positif di mata publik belum tentu menunjukkan kualitas kinerja menteri yang baik, begitupun sebaliknya. “Publik harus lebih kritis lagi menilai kinerja menteri-menteri.”
TIM TEMPO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini