Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Keuangan tengah mengkaji penambahan enam jenis ekspor jasa yang akan dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai alias PPN 0 persen. Penambahan enam ekspor jasa ini dilakukan untuk meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saat ini Kementerian Keuangan tengah mengkaji dengan tetap mempertahankan prinsip kehati-hatian, khususnya administrasi perpajakan," kata Kepala Bidang Kebijakan Pajak dan PNBP, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Rustam Effendi dalam diskusi di Menara Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Jakarta Selatan, Kamis, 27 September 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini, dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.03/2011 hanya ada tiga jenis ekspor jasa yang dibebaskan dari PPN. Ketiganya yaitu jasa maklon, jasa perbaikan dan perawatan serta jasa konstruksi. Selain itu ekspor jasa dikenakan tarif PPN 10 persen. Alasannya ketiga jasa yang mendapat PPN 0 persen melekat pada barang sehingga lebih mudah diawasi.
Tapi di sisi lain, sektor jasa di Indonesia dinilai belum cukup bersaing dengan tenaga kerja yang berada di luar negeri. Untuk itu, penambahan enam jenis ekspor jasa ini diharapkan bisa memperkuat neraca jasa dan defisit transaksi berjalan, khususnya pada jenis jasa yang telah mengalami surplus dan bisa bekerja di negara lain.
Adapun enam jenis ekspor jasa lainnya yang akan dibebaskan dari PPN yaitu pertama jasa teknologi dan informasi (seperti layanan pemnbuatan program aplikasi dan konten hingga layanan pembuatan website); kedua jasa penelitian dan pengembangan; ketiga jasa persewaan alat angkut; keempat jasa pengurusan transportasi; kelima jasa profesional (layanan jasa hukum, jasa akuntansi dan pembukuan, jasa audit laporan keuangan, hingga jada perpajakan); keenam jasa perdagangan.
Rustam mengatakan draft usulan ini telah rampung untuk pembahasan di level teknis. Selanjutnya, rancangan masih akan dikaji oleh pimpinan terkait di Badan Kebijakan Fiskal dan juga Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. "Target kami secepatnya, mungkin triwulan ini selesai," ujarnya.
Lembaga Penelitian, Pengembangan, dan Pengkajian Ekonomi (LP3E) Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Ina Primiana, menilai pemerintah harus mengkaji betul Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.03/2011. "Termasuk apakah kalau penambahan enam itu berpengaruh pada defisit transaksi berjalan, jangan-jangan tidak," ucapnya.