Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Kenapa Isu Buyback Indosat Hampir Selalu Muncul di Tiap Pilpres?

Tak Hanya Sandiaga, rencana buyback Indosat juga dilontarkan oleh Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudhoyono.

27 Maret 2019 | 11.36 WIB

Gedung Indosat ooredoo di kawasan Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta.
Perbesar
Gedung Indosat ooredoo di kawasan Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Wacana pembelian kembali atau buyback Indosat Ooredoo dilontarkan calon wakil presiden nomor urut 02, Sandiaga Uno, dalam kampanye politiknya. Pada 20 Maret 2019 lalu, dalam sebuah wawancara dengan wartawan, Sandiaga, menegaskan bakal merebut kembali saham Indosat yang telah dijual pemerintah pada masa Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai presiden.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Di bawah Prabowo Sandi akan kami usahakan,” ujar Sandiaga di Jakarta kala itu. Janji membeli kembali saham perusahaan jasa telekomunikasi itu sejatinya tak hanya muncul dalam kampanye Pilpres 2019. Dua presiden sebelumnya, Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudhoyono, pernah menyatakan wacana serupa.

Dalam debat capres melawan Prabowo Subianto pada Juni 2014 lampau, Jokowi kala maju sebagai calon presiden, menuturkan niatnya melakukan buy back saham Indosat. Jokowi saat itu yakin, Indonesia akan kembali memiliki perusahaan tersebut beserta satelit-satelit yang berguna untuk pertahanan nasional.

"Ke depan kita buyback Indonesia sehingga menjadi milik kita lagi. Maka itu, ekonomi kita harus tumbuh 7 persen," katanya waktu itu. Pernyataan itu muncul saat Jokowi menjawab pertanyaan Prabowo Subianto terkait dengan kebijakan Megawati yang menjual Indosat dalam debat capres.

Sementara itu, pada 2007, pemerintahan SBY dan Jusuf Kalla mendaraskan janji serupa. SBY pernah mewacanakan bakal membeli kembali 42 persen saham Indosat dari Singapore Technologies Telemedia.

SBY merencanakan buyback Indosat lewat kerja sama dengan Alfa Group atau Altimo. Altimo merupakan perusahaan jasa telekomunikasi yang berbasis di Rusia. Menurut SBY waktu itu, Altimo akan menggelontorkan investasi US$ 2 miliar. 

Dalam laporan Majalah Tempo edisi 7 Mei 2007 disebutkan pemerintah pada masa itu memiliki dua skenario pembelian saham Indosat. Pertama, Altimo mengucurkan pinjaman dengan formulasi konversi utang. Kedua, Altimo membeli langsung saham Indosat tanpa hitung-hitungan harga premium. Namun, rencana itu tak terlaksana karena ada potensi kerugian.

Mengutip dari laman resmi perusahaan, Indosat didirikan sejak tahun 1967. Ini adalah perusahaan telekomunikasi internasional pertama di Indonesia.

Pada 1980, seluruh saham asing di Indosat diakuisisi pemerintah. Pada 1994, Indosat resmi melantai di bursa saham. Adapun pemerintah menguasai 65 persen saham dan sisanya adalah milik publik.

Pada 2002, pemerintah menjual 8,10 persen sahamnya ke publik. Saham Indosat sebesar 41,94 persen kembali dijual kepada Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd. Transaksi ini membuat saham pemerintah menyusut menjadi tinggal 15 persen.

Lima tahun kemudian yaitu 2008, STT Singapore menjual seluruh sahamnya kepada Qatar Telecom atau Qtel menjadi sebesar 40,81 persen dengan nilai transaksi US$ 1,8 miliar atau Rp 16.740 triliun (dengan kurs saat itu 9.300 per dolar AS).

Qtel kembali menambah porsi sahamnya di Indosat dengan membeli 24,91 persen saham seri B dari publik pada 2009. Dengan demikian, Qtel menguasai 65 persen saham Indosat di bawah bendera Ooredo Asia Pte. Ltd. Adapun saham pemerintah Indonesia adalah 14,29 persen dan sisanya 20,17 persen dikuasai publik.

Sebelumnya Guru Besar Fakuktas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Rhenald Kasali menyarankan agar Presiden Jokowi tidak melakukan buy back Indosat. Pasalnya saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk memiliki saham Indosat walaupun itu janji pemerintahan Jokowi sebelumnya. 

“Stop pembicaraan soal itu, karena itu merugikan kita,” ujar Rhenald seusai acara bedah buku Dibalik Reformasi 1998 karya Laksamana Sukardi di Kampus UI, Depok, Selasa, 6 November 2018. Mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi dalam buku yang ditulisnya juga membeberkan alasan penjualan Indosat pada era Presiden Megawati.

Menurut Rhenald, Jokowi tidak perlu membeli kembali Indosat karena sebelumnya ada syarat waktu itu bahwa ekonomi minimal sudah tumbuh 7 persen. Syarat berikutnya harga yang ditawarkan oleh pemilik saham masuk kategori wajar. “Kalau kita desak-desak, pasti harga akan mahal.”

Hal senada disampaikan Tanri Abeng. Menteri Pendayagunaan Badan Usaha Milik Negara pada masa Presiden Soeharto itu menilai buyback Indosat tidak penting lantaran perusahaan telekomunikasi pelat merah seperti PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk. atau Telkom dengan PT Telekomunikasi Selular atau Telkomsel sudah menguasai pasar.

"Buat apa lagi kita buyback," kata Tanri, Jumat, 22 Maret 2019. Kecuali, jika Indosat dijual dengan harga sangat murah dan secara komersial menguntungkan bagi Indonesia, barulah langkah itu bisa dipertimbangkan.

Namun, Tanri yang juga pernah menjabat sebagai Komisaris Utama PT Telkom Indonesia  itu menyebutkan, dengan perhitungan strategis, buyback Indosat tidak perlu dilakukan karena perusahaan BUMN sudah cukup kuat di sektor tersebut. Lagipula, dengan komposisi saat ini, persaingan industri telekomunikasi di dalam negeri juga menjadi lebih intens.

Imbas dari persaingan yang ketat itu, kata Tanri, adalah peningkatan pelayanan dan efisiensi. "Jadi menurut saya biarkan saja, enggak usahlah pemerintah buyback, Telkom dengan Telkomselnya sudah menjadi raja, ngapain lagi?" kata Tanri yang kini menjadi salah satu komisaris PT Pertamina (Persero).

MAJALAH TEMPO

Francisca Christy Rosana

Lulus dari Universitas Gadjah Mada jurusan Sastra Indonesia pada 2014, ia bergabung dengan Tempo pada 2015. Kini meliput isu politik untuk desk Nasional dan salah satu host siniar Bocor Alus Politik di YouTube Tempodotco. Ia meliput kunjungan apostolik Paus Fransiskus ke beberapa negara, termasuk Indonesia, pada 2024 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus