Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ini Kelemahan Kontrak Lama

Sejumlah persoalan masih menggantung menjelang pengalihan pengelola Blok Rokan dari PT Chevron Pacific Indonesia ke PT Pertamina (Persero). Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Dwi Soetjipto menjelaskan sejumlah opsi yang disiapkan untuk menjaga produksi Rokan.

18 Juli 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJUMLAH persoalan yang masih menggantung menjelang pengalihan pengelola Blok Rokan dari PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) ke PT Pertamina (Persero) menjadi perhatian utama Dwi Soetjipto. Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) yang sebelumnya memimpin Pertamina ini masih teringat masa transisi Blok Mahakam yang tertatih-tatih hingga produksinya jeblok setelah lepas dari kendali Total E&P Indonesie. “Ini memang salah satu kelemahan kontrak bagi hasil lama, tidak dicantumkan proses transisi. Misalnya apa hak dan kewajiban kontraktor lama serta calon kontraktor baru,” kata Dwi kepada Retno Sulistyowati dan Khairul Anam dari Tempo, Kamis, 16 Juli lalu.

Bagaimana transisi Blok Rokan berlangsung?
Pembahasan terus berlanjut. Kami mendata apa saja yang nanti diperlukan Pertamina, juga merancang programnya. Kami berharap Chevron tetap berinvestasi meski sisa waktu tinggal hitungan bulan. Ini penting untuk menjaga produksi agar pada saat Pertamina masuk nanti tidak terlalu jatuh. Persoalan sumur tua adalah decline alami. Untuk menahan laju decline, ya harus ada investasi, mengebor sumur pengembangan.

Bagaimana cara agar Chevron mau?
Kuncinya di legal. Kami memang minta dikawal kejaksaan. Nanti, kalau sudah diperoleh angka-angkanya, akan ada perjanjian yang diteken SKK Migas dan CPI. Kalau mekanismenya disepakati, kami butuh persetujuan pemerintah. Kemudian ada semacam amendemen kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC). Skenario ini diharapkan bisa menjadi bridging penyelesaian masalah pemulihan pasca-penambangan (abandonment and site restoration/ASR) dan tanah terkontaminasi minyak.

Apa poin krusial pertimbangan hukum yang dibutuhkan?
Pertama, bagaimana mempercepat (pengembalian) investasi tanpa melanggar aturan. Kalau PSC normal, dengan pola depresiasi—hingga lima tahun. Masalahnya, ini waktunya mepet, tinggal setahun. Skenarionya seperti apa, harus ada persetujuan pemerintah. Kedua, bagaimana pola exit CPI. Karena komplain tanah terkontaminasi minyak (TTM) oleh masyarakat bisa muncul kelak mengingat areanya yang sangat luas. Kalau komplain yang sudah masuk, tentu sudah diverifikasi. Ini juga perlu pengawalan dari aspek legal.

Opsi apa saja yang sudah disepakati?
Beberapa hal sedang dibahas, seperti perhitungan kewajiban TTM.

Apa saja yang menjadi kewajiban TTM?
Zaman dulu, dalam membangun infrastruktur jalan, pemerintah mengizinkan penggunaan minyak mentah disiram di atas tanah yang telah dikeraskan. Namun, belakangan, aturan melarangnya. Berapa jumlah atau volume tanah yang terkontaminasi? CPI menghitung sekian, yang lain menghitung sekian. Ini menjadi dispute. Padahal dana untuk ini harus segera dicadangkan supaya nanti, ketika Pertamina masuk, enggak ada masalah. Termasuk pemulihan tambang yang sebelumnya tidak diwajibkan dalam PSC juga harus dicadangkan oleh CPI ataupun pemerintah sesuai dengan fiscal term cost recovery. Jangan sampai seperti Total E&P Indonesie dan lain-lain dulu, tidak ada kewajiban mencadangkan.

Dulu Total tidak mencadangkan dana itu?
Makanya itu, kalau yang sudah pergi bagaimana? Karena itu, mumpung ini masih bisa diperbaiki. Kami berharap CPI, kalau ada program investasi yang bisa dijalankan, sambil menyelesaikan itu.

Siapa yang mengaudit kebutuhan dana itu?
Sudah kickoff. Yang melakukan audit Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bekerja sama dengan auditor untuk menilai volume tanah terkontaminasi, juga lokasinya. Biayanya nanti dihitung bersama SKK Migas. Kami punya satuan biaya, owner estimate istilahnya. Angka itu yang dipakai sebagai patokan pencadangan.

Bagaimana dengan PSC lama lain? Banyak yang akan habis kontrak….
Betul, persis. Kalau di PSC tidak tercantum kewajiban ASR, TTM, langkah-langkah seperti ini sangat diperlukan. Bagaimana agar kontraktor lama tetap berinvestasi pada beberapa tahun terakhir. Bagaimana pola pengembalian investasi itu. Perlu dicarikan jalan keluar. Kalau sekarang kita masih takut ini takut itu. Mungkin karena baru. Tapi kalau ini nanti bisa terlaksana dengan baik, dengan pengawalan pihak berwenang, bisa menjadi model untuk menyelesaikan kasus transisi wilayah kerja lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus