Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kisah Tjemen Dan Tahunya

Tjemen, 48, berhasil mendirikan perusahaan tahu di tanah tinggi yang dapat menampung ratusan tenaga kerja ia sedang membuat pabrik tahu yang modern. Kesuksesannya ditunjang kualitas & pemasaran yang baik.(eb)

16 November 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TJEMEN, seorang lelaki sederhana yang hanya berpendidikan sekolah dasar, siapa sangka, bisa jadi tempat bergantung hidup 550 orang Tahu Sumedang adalah komoditi usaha TJemen. Toh, dari dagangan remeh, yang lebih sering disantap sebagai makanan iseng bersama cabai mentah itu, lelaki yang memulai usahanya dengan Rp 150 ini sekarang bisa mengumpulkan laba bersih sedikitnya Rp 100 ribu sehari. Jangan kaget, kebutuhan kedelai untuk tahu itu setiap harinya dua ton - bahkan bisa tiga ton di musim libur. Skala usaha lelaki berumur 48 tahun itu memang hanya merupakan industri rumah. Artinya, tempat usaha, kantor, gudang, pusat distribusi, dan rumah sekaligus dilakukan di satu tempat: di sebuah rumah di bilangan Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Kehidupan di situ sudah dimulai lepas subuh. Kedelai sekarang dimasak dengan kompor gas, dan digiling dengan mesin. Lebih dari 25 tahun lalu, kedelai masih dimasak dengan kayu, lalu digiling dengan batu. Dari tempat itu, tahu Emen (demikian ia dipanggil) kemudian didistribusi-kan oleh para pengecer, dengan gerobak dorong atau pikulan - biasanya sudah berupa tahu goreng. Sedikitnya 550 orang terlibat dalam rantai pemasaran ini. Hampir semua tempat hiburan, baik di Ancol, Taman Ria Senayan dan Monas, pusat perbelanjaan mereka masuki. Namun, sebelum para pengecernya mangkal, Emen biasanya datang menjajaki situasi. Dan jika ada penguasanya di situ, ia tak segan meminta izin. Kalau perlu, keluar uang buat keamanan. "Biar pedagang saya bisa tenang berjualan," katanya. Selain ditunjang baiknya pemasaran, sukses Emen juga ditentukan oleh kualitas. Tahu bikinannya dikenal gurih, empuk, dan renyah. Resepnya ia peroleh dari orangtuanya, ketika mereka masih tinggal di Sumedang, kota pusat kelahiran komoditi ini. Ia sendiri sampai kini masih sering turun mengawasi pembuatan tahu untuk menjaga mutunya. Tapi, usaha itu tak akan berarti jika tidak ditunjang keuletan. Bayangkan saja, ketika usaha yang dirintis sejak 1959 itu mulai berkembang, 1963, pabriknya terbakar. WARISAN orangtuanya kemudian di jual untuk memulai usaha baru lagi. Emen tampaknya tak ingin kembali jadi pekerja bengkel. Jalan lempang rupanya terbuka. Usahanya berkembang lagi. Setiap orang, yang ingin jadi pengecer, diberinya semua sarana: dari penggorengan, kompor, sampai pikulan maupun gerobak dorongnya. Mereka ibaratnya tinggal datang, dan bekerja. Kalau para pengecer ini ulet, keuntungan bersih Rp 5.000 sampai 6.000 sehari niscaya bisa mereka peroleh. Jasa bank akhirnya diperlukan untuk mengembangkan usahanya. Tahun 1981, Emen memperoleh KIK Rp 40 juta dari Bank Pembangunan Daerah Jakarta. Dua tahun kemudian disusul Rp 75 juta. Pengembaliannya lancar. Pemberi kredit tentu senang. "Jenis usahanya punya prospek cerah, dengan perputaran uang cepat. Dan usahanya menampung begitu banyak orang," kata Sri Kuntjoro, Kepala Cabang Pembantu BPD Senen. Dengan jasa bank ini juga, Emen kini sedang giat membangun sebuah pabrik tahu lebih modern, yang diharapkan selesai pertengahan tahun depan dan pabrik kecap di Ciracas. Investasinya lebih dari Rp 100 juta. Usaha diversifikasi pernah dilakukannya dengan membuka peternakan ayam ras. Di tahun 1979 itu, Rp 50 juta ditanamkannya untuk menyelenggarakan peternakan di atas lahan 7 ha di Bekasi, yang diisi 24 ribu ekor ayam. Ketika ia mengalami kesulitan mencari bibit ayam di tahun 1982, harapannya bisa mengembangkan peternakan itu jadi sirna, meskipun dari situ laba Rp 5 juta per tahun pernah diperolehnya. Peternakannya kini dibiarkannya terbengkalai. Tjemen akhirnya lebih suka memusatkan perhatian pada usaha tahunya. Dan sukses usahanya itu banyak menarik perhatian: dari mulai pelajar sampai para pejabat. Sampai suatu saat, seseorang mengajaknya untuk membuka usaha di Arab Saudi, tapi ditolaknya. "Saya tidak bisa meninggalkan keluarga," kata lelaki beranak 10 itu polos.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus