Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil merespons soal Rancangan Undang-undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (RUU KSDAHE) yang kini tengah dibahas oleh DPR RI dan pemerintah pusat. Adapun RUU ini dibuat untuk merevisi Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistemnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dosen Fakultas Hukum UGM Yance Arizona selaku perwakilan koalisi menilai RUU tersebut masih memerlukan penyempurnaan untuk memperkuat peranan dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan konservasi. "Kami melihat meskipun ada upaya dalam mengakomodasi peran dan partisipasi masyarakat, tetapi substansi yang ada sekarang belum cukup," tuturnya dalam diskusi yang disiarkan melalui kanal Youtube Walhi Nasional pada Senin, 13 Februari 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil berharap ada penyempurnaan terhadap RUU ini, baik secara substansi maupun secara prosesnya. Sehingga, masyarakat sipil bisa mendapatkan ruang yang lebih luas untuk terlibat di dalam dalam proses pembahasan RUU ini.
Terlebih, tuturnya, perkembangan global menunjukan peranan masyarakat semakin penting dalam proses konservasi. Menurut Yance, di Indonesia pun sudah banyak contoh sukses yang menggambarkan keberhasilan masyarakat dalam melakukan konservasi. Karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil memberikan tujuh catatan untuk menyempurnakan RUU tersebut.
Pertama, Koalisi Masyarakat Sipil meminta agar aturan tersebut mengutamakan paradigma konservasi yang berbasis hak asasi manusia (HAM). Ia menjelaskan dalam undang-undang yang lama, aturan mengenai konservasi sangat sangat berpusat pada negara atau state centric, padahal kapasitas pemerintah untuk menjaga wilayah konservasi sebanyak 27,4 juta hektar sangat terbatas. Sehingga, masyarakat yang tinggal di wilayah itu sebetulnya ujung tombak dari kesuksesan konservasi.
Kedua, RUU KSDAHE dinilai harus mampu menerjemahkan komitmen internasional pemerintah Indonesia di bidang lingkungan hidup. Seperti diketahui, Indonesia mengikuti COP15 di Montreal yang menghasilkan Global Biodiversity Framework Post 2020 yang menetapkan sejumlah target di bidang lingkungan hidup.
Target tersebut, di antaranya ihwal memastikan perencanaan pengelolaan keanekaragaman hayati yang efektif dan inklusif dengan tetap menghormati masyarakat adat dan komunitas lokal. Selain itu, target dalam memastikan pada 2030 setidaknya 30 persen daratan dan perairan dapat dilindungi dan dikelola melalui keterwakilan ekologis, hubungan baik, dan tata kelola yang setara di kawasan konservasi serta mengakui masyarakat adat dan wilayahnya.
Ketiga, koalisi menyoroti perlunya persetujuan atas informasi awal tanpa paksaan atau Padiatapa. Padiatapa merupakan terjemahan dari prinsip FPIC (free, prior, and informed consent). Yance menuturkan Padiatapa didasarkan pada pengakuan hak yang melekat pada masyarakat adat untuk menentukan nasib sendiri dan Kebutuhan untuk menghormati martabat, pengetahuan, dan cara hidup tradisional mereka.
Keempat, pengaturan yang lebih kuat soal kearifan lokal dalam kegiatan konservasi dan areal konservasi kelola masyarakat (AKKM). Menurut Yance, dibutuhkan pengaturan lebih rinci ihwal pendataan AKKM dan daerah perlindungan kearifan lokal yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun, kata dia, masyarakat dapat mengajukan bahwa AKKM dan daerah perlindungan kearifan lokal mereka untuk didata oleh pemerintah. Selain itu, AKKM dan daerah perlindungan kearifan lokal harus terlindungi dari proyek-proyek pemerintah yang dapat merusak sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Kelima, aturan dalam RUU KSDAHE harus bisa mencegah kriminalitas terhadap masyarakat ekosistem penting di luar kawasan konservasi. karena selama ini banyak konflik yang terjadi antara masyarakat adat dan pihak konservasi, salah satunya kasus Taman Nasional.
Keenam, mengganti prosedur pengakuan masyarakat adat yang politis menjadi administratif. Aturan dalam RUU KSDAHE berbeda dengan yang sebelumnya, namun tidak menciptakan model baru, sehingga membenarkan proses yang terjadi selama ini. Adapun proses pengakuan masyarakat saat ini, sangat rumit dengan penetapan melalui pemerintah daerah.
Ketujuh, mendorong proses partisipasi masyarakat sipil dapat memberikan masukan dalam proses legislasi. Kelompok yang terkena dampak langsung harus didengarkan, dipertimbangkan, dan diberikan jawaban terhadap aspirasi yang disampaikannya.
"DPR dan pemerintah dapat melibatkan masyarakat adat dan lokal, serta organisasi masyarakat sipil untuk duduk bersama melakukan musyawarah merumuskan ketentuan-ketentuan di dalam RUU KSDAHE," ujar Yance.