Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CERUTU bermerek Djarum Cigar itu dipajang di sebuah warung di belakang Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington, DC. Satu kotak kecil berisi 12 batang dikemas dengan sangat rapi dan dijual US$ 7. Ada lima jenis produk Djarum Cigar di toko itu, yakni Djarum Clove Cigar rasa Strawberry, Kiwi, Menthol, Special, dan Regular. Pemilik toko mengaku Djarum Cigar banyak peminatnya dan cepat habis.
Memang hanya cerutu yang bisa dijumpai di Amerika. Rokok kretek cengkeh menghilang sejak Presiden Barack Obama mengesahkan Undang-Undang Kontrol Tembakau dan Pencegahan Keluarga Merokok (Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act). Beleid itu melarang peredaran rokok beraroma cengkeh dan buah-buahan karena dianggap berbahaya bagi perokok pemula atau anak muda.
Padahal potensi ekspor kretek Indonesia ke Negeri Abang Sam bisa mencapai US$ 200 juta per tahun. Pengusaha memperkirakan potensi kerugian yang dibukukan industri rokok kretek bisa lebih besar. "Kenaikan harga rokok 7-10 persen setahun. Setelah dua tahun kenaikannya mencapai 15-20 persen," kata juru bicara Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia, Hasan Aoni Aziz. Akibat beleid itu, industri rokok berpotensi kehilangan pendapatan hingga US$ 480 juta sejak 2009.
Anehnya, rokok beraroma mentol tetap bebas beredar. Tak pelak Indonesia membawa perkara diskriminasi ini ke Badan Penyelesaian Sengketa pada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Hasilnya, pada September 2011, WTO mengumumkan Undang-Undang Kontrol Tembakau telah membuat rokok kretek mendapatkan perlakuan yang kurang menguntungkan dibanding rokok mentol. Amerika tentu tidak senang dituduh diskriminatif. Mereka mengajukan banding pada Januari 2012. "Amerika menganggap bahwa panel telah membuat kesalahan dalam memutuskan," kata Duta Besar Indonesia untuk WTO Erwidodo. Badan Banding kembali menggelar dengar pendapat selama dua hari pada pertengahan Februari.
Pada 4 April 2012, tepat pukul 12 siang, Erwidodo datang ke kantor Badan Penyelesaian Sengketa ditemani oleh pengacara untuk Indonesia, Major Brown. Erwidodo akhirnya lega ketika membaca dokumen dari Badan Penyelesaian Sengketa. "Saya buka di situ, dan saya baca kesimpulannya, dan kami tahu kita menang," kata dia.
Tugas Erwidodo belum selesai. Pihak yang bersengketa harus mengadopsi aturan ini pada 24 April mendatang. Sampai waktu yang ditentukan itu, Abang Sam bisa menimbang untuk memilih beberapa opsi. Pilihan pertama adalah menyesuaikan Undang-Undang Kontrol Tembakau dengan keputusan WTO.
Jika tidak mungkin ada penyesuaian aturan, Amerika harus memberikan kompensasi kepada Indonesia dalam bentuk produk atau fasilitas lain yang senilai dengan kerugian Indonesia. Tapi, jika Amerika tidak mau menyesuaikan Undang-Undang Kontrol Tembakau atau memberikan kompensasi, Indonesia bisa mengajukan retaliasi perdagangan. Pembalasan tersebut berupa larangan ekspor salah satu produk Amerika ke Indonesia yang senilai dengan kerugian pada sengketa rokok ini.
Hasan, yang mewakili kepentingan pabrik rokok, ingin pemerintah mendorong agar penyesuaian keputusan WTO dengan mengamendemen Undang-Undang Kontrol Tembakau. Dengan demikian, pengusaha bisa mengekspor kretek lagi ke Amerika. Produsen rokok kretek sudah siap jika pintu masuk ke Amerika dibuka kembali. "Jaringan sudah terbentuk, akses distribusi sudah ada," kata Hasan.
Dia yakin konsumen Amerika sudah menunggu-nunggu agar bisa kembali mengisap rokok aroma cengkeh itu. Hasan berteori, bila suatu produk dilarang, biasanya orang justru semakin tertarik mencobanya. "Jadi promosi," kata dia.
Pada 2009, lebih 50 persen ekspor rokok kretek ke Amerika Serikat didominasi Djarum. Sisanya dikuasai oleh Gudang Garam dan HM Sampoerna. "Komposisi ini tidak akan berubah banyak dibanding dua tahun lalu," kata dia. Belum ada produsen kretek lain yang terlihat menjajaki pasar Amerika.
Manajer Komunikasi Perusahaan PT Djarum Budi Darmawan masih menunggu hasil diplomasi pemerintah Indonesia dengan Amerika. PT Djarum sudah punya jaringan kuat melalui agen Kretek International Inc untuk pemasaran produknya.
Eka Utami Aprilia, Elliza Hamzah, Victoria Sidjabat (Washington, DC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo