Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan sepakat jika larangan pengoperasian kapal tangkap ikan 150 GT menjadi penghambat masuknya kapal nelayan lokal ke Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau. Larangan tersebut terbit di era mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Iya, menurut saya menghambat,” kata Luhut saat ditemui di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu, 15 Januari 2020. Untuk itu, kata Luhut, saat ini proses evaluasi tengah berjalan di Kementerian Kelautan dan Perikanan atau KKP. “Kami akan evaluasi, karena kalau di laut bebas itu, 30 GT saja mati kan itu.”
Larangan ini dimuat dalam Surat Edaran Nomor D.1234/DJPT/PI.470.D4/31/ 12/2015 tentang Pembatasan Ukuran GT Kapal Perikanan. Saat itu larangan yang mulai berlaku 1 Januari 2016 ini sebenarnya bertujuan untuk mengendalikan kegiatan penangkapan ikan dan juga melindungi nelayan kecil.
Sebulan kemudian, protes datang dari pengusaha perikanan, salah satunya dari Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) DKI Jakarta, Yan Winatasamita. Menurut dia, kapal di atas 150 GT bisa menguasai laut nasional. “Lah sekarang kok dilarang? Padahal kami diwajibkan untuk meningkatkan produksi ikan,” kata dia pada 3 Februari 2016, dikutip dari Antara.
Hingga pada awal 2020 ini, terjadilah insiden kapal ikan Cina menangkap ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Pengamat transportasi darat dan laut, Bambang Haryo Soekartono, pun menilai larangan di era Susi inilah yang menjadi penyebabnya.
“Kebijakan tersebut membuat perairan ZEE Natuna kosong, sehingga kapal Cina dengan leluasa masuk,” kata dia. Dituding seperti itu, Susi hanya merespon dengan mengunggah emoji tertawa sebanyak 10 kali. Balasan itu diunggah pada status media sosial Twitter pada Kamis, 9 Januari 2020.
Namun demikian, larangan ini tetap akan dikaji ulang. Menurut Luhut, kajian ini akan berjalan setidaknya tiga sampai empat hari ke depan. Setelah itu, Menteri KKP Edhy Prabowo akan datang ke Luhut menyampaikan laporan hasil kajian.
Setelah itu, Luhut juga membandingkan kajian KKP dengan data milik TNI Angkatan Laut hingga Badan Keamanan Laut atau Bakamla. Sejalan dengan itu, pemerintah juga akan menambah jumlah nelayan di Natuna. Pangkalan khusus untuk nelayan pun tengah dibangun di daerah terluar Indonesia tersebut.
Akan tetapi, Mantan Koordinator Staf Tugas Illegal Fishing atau Satgas 115, Mas Achmad Santosa, telah lebih dulu membantah jika larangan kapal tangkap ikan di atas 150 GT menjadi penyebab banyaknya kapal ikan Cina. Menurut Achmad, jumlah kapal 150 GT di Indonesia sebenarnya hanya sekitar 70-an.
“Kebanyakan rata-rata 100-an GT,” kata Achmad saat ditemui usai mengikuti diskusi soal Natuna di Jakarta Selatan, Senin, 13 Januari 2020. Khusus di Natuna, kata Achmad, ada sekitar 811 kapal yang terdaftar di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kebanyakan dari kapal ini hanya memiliki ukuran sekitar 70 sampai 90 GT. Sehingga, larangan itu tidak ada hubungannya dengan banyaknya kapal Cina di Natuna.
Sejak Jumat, 10 Januari 2020, Tempo telah mencoba mengkonfirmasi tudingan bahwa larangan kapal 150 GT ke atas ini membuat Laut Natuna Utara menjadi sepi. Dirjen Perikanan Tangkap, KKP, Zulficar Mochtar telah meminta daftar pertanyaan yang ingin diajukan, namun belum kunjung memberikan jawaban.