Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Mahfud MD Sebut Redistribusi Tanah Bukan Sekadar Bagi Sertifikat Tanah, Apa Itu Land Reform?

Cawapres Mahfud MD menyebut land reform bukan sekadar bagi-bagi sertifikat tanah. Apa itu land reform, bagaimana penerapannya di Indonesia?

24 Desember 2023 | 08.40 WIB

Calon wakil presiden nomor urut 3, Mahfud MD saat memberikan pemaparan pada debat perdana calon wakil presiden untuk pemilu 2024 di Jakarta Conventiom Center (JCC), Jakarta, Jumat, 22 Desember 2023. Debat cawapres kali ini mengangkat tema soal ekonomi kerakyatan dan digital, keuangan, investasi, pajak, perdagangan, pengelolaan APBN-APBD, infrastruktur, dan perkotaan. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Perbesar
Calon wakil presiden nomor urut 3, Mahfud MD saat memberikan pemaparan pada debat perdana calon wakil presiden untuk pemilu 2024 di Jakarta Conventiom Center (JCC), Jakarta, Jumat, 22 Desember 2023. Debat cawapres kali ini mengangkat tema soal ekonomi kerakyatan dan digital, keuangan, investasi, pajak, perdagangan, pengelolaan APBN-APBD, infrastruktur, dan perkotaan. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Calon wakil presiden atau cawapres Nomor Urut 3 Mahfud MD menyebut dalam lima tahun terakhir pemerintah telah membagikan sedikitnya 1 juta sertifikat tanah untuk rakyat. Dalam program redistribusi tanah itu, sertifikat diberikan kepada warga yang telah memiliki tanah. Namun, menurut Mahfud, land reform bukan sekedar bagi-bagi sertifikat tanah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

“Lahan yang lain belum dibagi terhadap orang yang belum punya, nah itu yang akan kita kerjakan besok dalam rangka redistribusi tanah,” kata Mahfud dalam debat cawapres Pemilu 2024 di JCC Senayan, Jakarta Pusat, Jumat malam, 22 Desember 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan kata lain, menurut Mahfud, redistribusi tanah yang dimaksud adalah membagikan tanah kepada rakyat yang belum memiliki lahan. Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan atau Menkopolhukam ini mengatakan aturan terkait redistribusi sebenarnya lahan sudah ada. Namun implementasinya dinilai masih kurang sejauh ini.

“Sejak zaman bung karno itu dulu mengeluarkan undang-undang land reform, redistribusi lahan itu tadi, yang sampai sekarang itu tidak jalan meskipun undang-undangnya masih berlaku,” kata Mahfud.

Pernyataan itu Mahfud MD sampaikan saat menanggapi jawaban dari Cawapres Nomor Urut 1 Muhaimin Iskandar atau Cak Imin terkait keadilan sosial yang dimulai dari pemerataan kepemilikan tanah akses dan lahan. Lebih jauh, Mahfud menyebut lahan di Indonesia banyak dikuasai atau didapatkan secara kolusi atau permufakatan melawan hukum.

Menurut Mahfud, satu persen penduduk menguasai 75 persen lahan di Indonesia. Sementara 99 persen lainnya berebut mengelola 20 persen lahan. Penduduk Indonesia per 2021 adalah 273,8 juta. Artinya, 75 persen lahan yang ada di Indonesia dikuasai sebanyak 2,7 juta penduduk. Sementara 270 juta penduduk lainnya mengelola 20 persen lahan. Mahfud menilai hal ini merupakan ketimpangan.

“Sekarang ini, kalau data yang saya pernah dengar dari Pak Prabowo beberapa tahun lalu, 1 persen penduduk menguasai 75 persen lahan, 99 persen penduduk berebut mengelola hanya 20 persen lahan sisanya. Memang timpang,” katanya.

Selanjutnya: Apa itu land reform?

Land reform atau reformasi agraria di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Pokok Agraria atau UUPA. Boedi Harsono membagi pengertian land reform menjadi dua. Guru Besar dalam Ilmu Hukum Agraria ini mengartikan land reform secara khusus sebagai perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan hukum bersangkutan dengan penguasaan tanah untuk mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan.

Dalam bukunya Hukum Agraria Indonesia, Boedi juga mengartikan land reform secara luas meliputi lima program atau Panca Program, yaitu:

1. Pembaharuan hukum agraria.

2. Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah.

3. Mengakhiri pengisapan feodal secara berangsur-angsur.

4. Perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan hukum bersangkutan dengan penguasaan tanah untuk mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan, dan

5. Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta penggunaannya secara terencana, sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya.

Dikutip dari Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup oleh Erman Rajagukguk, land reform di Indonesia pernah diimplementasikan dalam kurun waktu 1961 sampai 1965, namun kurang berhasil. Landasan hukum pelaksanaan adalah UUPA Nomor 5 tahun 1960, yaitu Pasal 7 dan 17 untuk sumber pengaturan pembatasan luas tanah maksimum.

Dikutip dari jurnal Kendala Pelaksanaan Landreform di Indonesia oleh Syahyuti, saat program land reform tersebut diluncurkan, kondisi politik di Indonesia sedang labil. Pada masa itu dikenal pendekatan “politik sebagai panglima”, di mana tiap kebijakan pemerintah dimaknai dalam konteks politik. Partai Komunis Indonesia atau PKI kemudian menjadikan land reform sebagai alat yang ampuh untuk memikat simpatisan.

Land reform diklaim sebagai alat perjuangan partai mereka, dengan menjanjikan tanah sebagai faktor penarik untuk perekrutan anggota. Pola ini menjadikan PKI cepat disenangi oleh masyarakat luas, terutama di Jawa yang petaninya merasakan kekurangan tanah garapan. Namun bagi petani bertanah luas, land reform merupakan ancaman bagi mereka, baik secara politik maupun ekonomi.

Program land reform hanya berjalan intensif dari 1961 sampai 1965. Namun demikian, pemerintahan Orde Baru yang berkuasa pada masa berikutnya mengklaim bahwa land refrom tetap dilaksanakan meskipun secara terbatas. Untuk menghindari kerawanan sosial politik yang besar, maka land reform diimplementasikan dengan bentuk yang sangat berbeda. Akses tanah kepada petani dijalankan dengan program transmigrasi.

Memasuki era Reformasi, dalam pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, program land reform juga diklaim belum dapat memenuhi keinginan agraria dari aktivis, buruh, petani, dan masyarakat adat. Kesulitan yang dihadapi masyarakat adalah proses administrasi. Dalam buku “Kebijakan Reforma di Era Susilo Bambang Yudhoyono”, disebutkan tidak ada kesamaan perspektif antara negara dan pihak swasta dalam mengartikan kebijakan.

Sementara itu, di era Presiden Jokowi, meski pemerintah telah membentuk Tim Nasional Reforma Agraria dan Gugus Tugas Reforma Agraria atau GTRA, namun fungsinya tidak berjalan dengan baik. Menurut studi Alvian dan Mujiburohman pada 2022, persoalan agraria di era Jokowi hanya berkutat pada legalisasi aset.

Secara teknis, implementasi land reform masih kurang. Lantaran, kepemimpinan yang lemah, keterbatasan objek redistribusi, dan peraturan yang tak mencukupi. Seperti yang dituturkan Mahfud, redistribusi tanah bukan sekadar bagi-bagi sertifikat tanah kepada rakyat.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus