Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Banyak UMKM belum merasakan program penyelamatan di masa pandemi Covid-19.
Anggaran untuk mendorong program pemulihan bertambah.
Restrukturisasi di perbankan bergulir.
TIGA bulan terakhir, Yulita Sirken nyaris tanpa penghasilan. Omzet bisnis makanan oleh-oleh khas Merauke berlabel Adli Food miliknya merosot tajam. Kini, usaha yang ia bangun di Jalan Arafura Buti, Merauke, Papua, itu praktis hanya mengandalkan pemasukan dari pembelian rutin dua anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Merauke. “Ada bapak-ibu Dewan yang setiap bulan membeli produk kami untuk dibagikan ke masyarakat di sekitar sini,” kata perempuan 31 tahun itu kepada Tempo, Rabu, 3 Juni lalu.
Ketika mendengar adanya kebijakan pelonggaran kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) akhir Maret lalu, Yulita mengajukan permohonan ke salah satu bank di Kota Rusa—julukan Merauke. Namun permohonannya saat itu ditolak dengan alasan kebijakan yang digulirkan Otoritas Jasa Keuangan tersebut belum turun ke daerah. Kini, relaksasi yang telah ia dapatkan tak banyak membantu. Penjualan anjlok, tak dapat lagi mengimbangi biaya pokok Adli Food.
Mulyati mengalami hal serupa. Pemilik Rayyan Woodcraft, usaha furnitur di Brebes, Jawa Tengah, ini telah menerima keringanan pembayaran kredit. Namun bantuan subsidi bunga dari pemerintah terasa tak berarti. “Pemasukan jauh berkurang, sedangkan pengeluaran untuk membayar cicilan tetap ada,” ujarnya. Mulyati sempat berencana meminta pinjaman ke koperasi untuk menyelamatkan bisnis yang ia dirikan tiga tahun lalu itu. Tapi opsi ini batal karena bunganya justru lebih besar.
Di Bandung, Jawa Barat, Pamela Rizki Merdekawati juga mengurungkan niat mengajukan permohonan kredit modal tambahan untuk MRL Label, usaha rumahan produksi tas dan ransel. Dia tak yakin permohonannya bakal dikabulkan bank. “Mempertimbangkan biaya bulanannya juga. Apalagi kondisinya seperti ini,” tuturnya, Kamis, 4 Juni lalu.
Pamela menyatakan tak tahu detail beragam jenis bantuan dari pemerintah selain subsidi bunga kredit usaha rakyat (KUR) yang beredar di media. Kini, dengan pendapatan yang turun lebih dari separuh, MRL Label mengurangi produksi sebanyak 30 persen. “Harga bahan baku juga naik,” ucapnya.
Pembuatan panci di kawasan Dewi Sartika, Jakarta, 10 Maret 2020. Pemerintah mengebut implementasi restrukturisasi kredit usaha mikro, kecil, dan menengah yang terkena dampak Covid-19. Tempo/Tony Hartawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rabu, 3 Juni lalu, pemerintah memutuskan akan kembali mengubah postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2020 untuk menampung kebutuhan pemulihan ekonomi nasional. Penyelamatan UMKM tercakup di dalamnya. Program penanganan dampak Covid-19 terhadap usaha kecil ini sebenarnya sudah berlangsung sejak akhir Maret lalu. Anggaran belanja untuk mendukung sektor ini juga telah disediakan pada revisi pertama APBN 2020 yang terbit awal April lalu.
Namun sekarang, dalam rencana postur anggaran yang baru, alokasi dukungan kepada UMKM ditambah menjadi Rp 123,46 triliun. Penambahan itu bertujuan menjangkau lebih banyak usaha kecil dan memperpanjang jangka waktu bantuan hingga akhir 2020. Selain itu, ada alokasi penempatan dana sekitar Rp 78,78 triliun ke perbankan untuk menyokong restrukturisasi kredit.
Persoalannya, selama ini program penyelamatan UMKM di masa pandemi lebih banyak menyasar pelaku usaha kecil yang terakses oleh kredit bank, kantor pajak, dan perusahaan milik negara pelaksana program pembiayaan. Padahal jumlah pelaku usaha kecil yang mengandalkan modal sendiri jauh lebih banyak. “Belum banyak juga pelaku usaha mikro yang menjadi wajib pajak,” tutur Ketua Jaringan Usaha Mikro Kecil Jawa Barat Iwan Gunawan. Walhasil, beragam program, seperti bantuan subsidi bunga, sokongan dana untuk restrukturisasi kredit, dan insentif pajak, tak menyentuh banyak UMKM yang kini lunglai. “Ada pengaruhnya, tapi terbatas.”
Hingga 2018, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah mencatat jumlah UMKM di Indonesia mencapai 64,35 juta unit. Sebanyak 98,7 persen di antaranya merupakan usaha mikro dengan aset masing-masing kurang dari Rp 50 juta dan omzet tahunan maksimal Rp 300 juta.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengakui skema restrukturisasi idealnya bisa menjangkau semua pelaku UMKM yang terkena dampak pandemi. Menurut kajian SMERU Research Institute, sekitar 20 juta pelaku UMKM belum terhubung dengan lembaga pembiayaan formal. “Kami harap sekarang mereka mau mengambil pembiayaan KUR atau dana murah lain yang sekarang disediakan,” ujarnya, Sabtu, 6 Juni lalu. Dengan begitu, Teten melanjutkan, pendataan UMKM di masa Covid-19 yang digalang kementeriannya makin optimal.
Dia pun tak menampik kabar bahwa informasi tentang berbagai program dukungan tak merata diterima pelaku usaha. “Dalam kondisi seperti ini, penyebaran informasi terbatas melalui media digital,” kata Teten.
Menurut Teten, saat ini Kementerian Koperasi dan UKM sedang menyiapkan stimulus untuk meningkatkan daya jual UMKM. Rencananya, stimulus baru ini menyasar UMKM yang terhubung dengan penjualan di lokapasar (marketplace), kemudian dialihkan untuk memperkuat warung bahan kebutuhan pokok tradisional yang tidak bisa bersaing dengan jaringan retail modern. “Masih dicari alternatif pembiayaannya,” ucapnya.
Di sisi lain, Kementerian juga sedang memikirkan cara untuk menyelamatkan UMKM lewat bisnis digital. Selama masa pandemi, kata Teten, UMKM yang terhubung dengan fasilitas penjualan online meningkat 18 persen. Namun jumlahnya baru 8 juta unit atau 13 persen dari total pelaku usaha.
Di perbankan, program restrukturisasi kredit yang dimulai pada akhir Maret lalu terus menggelinding, meski penempatan dana talangan untuk bantuan likuiditas bank baru akan dialokasikan dalam postur anggaran baru. PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, misalnya, hingga April lalu telah merestrukturisasi kredit senilai Rp 25 triliun milik 230 ribu debitor UMKM. Program ini berupa penundaan cicilan pokok dan/atau bunga paling lama 12 bulan. Program restrukturisasi serupa dilakoni PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk terhadap kredit korporasi dan UMKM senilai Rp 69 triliun.
Otoritas Jasa Keuangan mencatat, hingga 26 Mei lalu, total nilai restrukturisasi kredit dari 5,3 juta debitor pelaku UMKM dan non-UMKM telah mencapai Rp 517,2 triliun. Menurut Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, saat ini banyak nasabah perbankan ataupun lembaga keuangan nonbank yang tak mampu lagi membayar pokok bunga. Walau begitu, dia menambahkan, OJK akan memastikan bahwa restrukturisasi hanya disediakan bagi debitor dengan status pembayaran kredit lancar sebelum pandemi Covid-19. “Sehingga bantuan memang hanya akan menyasar pelaku UMKM yang terkena dampak pandemi,” ujarnya, Rabu, 3 Juni lalu.
AISHA SHAIDRA, FAJAR PEBRIANTO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo