Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengincar muatan, menembak ongkos

Sejak pemerintah mengurangi ekspor kayu gelondongan (log), sejumlah pelayanan khusus mulai mengincar muatan curah dan kayu lapis. (eb)

3 Maret 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALANGAN pengusaha pelayaran khusus hari-hari ini hangat mempercakapkan kelangsungan hidup armada pengangkut kayu gelondongan (log) mereka. Sejak pemerintah, mulai 1980, secara berangsur mengurangi ekspor kayu gelondongan, terasa sekali muatan untuk kapal-kapal itu menurun tajam. Karena muatan kurang, sementara ruangan kapal yang tersedia tak terbatas, ongkos angkut kayu gelondongan ke Jepang pun anjok dari rata-rata US$ 32 pada 1976 kini bergerilya di sekitar USS 19 per meter kubik. Tahun ini, persaingan diperkirakan akan makin hebat, mengingat untuk mengangkut hanya 1,5 juta meter kubik kayu gelondongan tersedia 84 kapal dengan bobot mati total 600.000 ton. Padahal, dengan jumlah kapal sama, lima tahun lalu volume kayu yang diangkut mencapai 18 juta meter kubik. Maka, bisa dimengerti jika sejumlah pelayaran khusus muatan bersiap menghadapi situasi paling buruk. PT Andhika Lines, misalnya, akhir Februari mencoba mengangkut kayu lapis dengan kapal 17.00C ton ke Pantai Barat AS. "Kalau percobaan ini berhasil, dengan sendirinya perusahaan saya akan ganti kapal," uja Hartoto Hadikusumo, Direktur Utama Andhika. Supaya ekonomis, Andhika meman harus menanti 22 kapal penggangkut kayu gelondongannya, yang rata-rata berbobot 6.500 ton, dengan kapal berbobot mati lebih besar. Melihat prospek ekspor kayu lapis cukup cerah, Hartoto, yang juga ketua unsur Pelayaran Khusus INSA (asosiasi pemilik kapal), yakin angkutan dari sini akan banyak. Tapi dia masih harus menghadapi pertanyaan apakah kapal itu kelak akan mendapat muatan balik dari luar negeri - sekalipun pemerintah sudah mengizinkan pelayaran khusus mengangkut muatan umum. Tentu tidak semua pengusaha pelayaran khusus punya pikiran seperti itu. PT Bahana Utama Lines yang punya sembilan kapal pengangkut kayu gelondongan berusia ratarata enam tahun, misalnya, sedang memikirkan untung rugi tindakan memodifikasikan atau menempatkan kapal tadi di jalur pelayaran tak tetap (tramping). Mengingat prospek muatan curah (bulk) cukup cerah, L. Sapta Adji, Wakil Presiden Direktur Bahana, merasa lebih baik melakukan modifikasi. "Kalau mau bertahan, ya, kami harus membuat kapal curah," katanya. Sapta Adji lalu menunjuk pada besarnya angkutan curah dari dan ke Indonesia. Dari Yordania, AS, dan Aljazair saja, setiap tahun pemerintah perlu mengangkut 1,7 juta ton muatan curah phosphat rock. Sementara itu, dari Kanada setiap tiga bulan sekali ada muatan curah miMrate of pofash 124.000 ton. Dan sini sendiri, katanya, setiap saat ada muatan batu bara untuk dikirimkan ke Bangladesh, Taiwan, dan Korea Selatan. "Karena kita tidak punya armada kapal curah, yang minimal berbobot mati 30.000 ton, muatan curah itu selama ini banyak yang diangkut kapal-kapal asing," katanya. Pernyataan itu ada benarnya: pengeluaran pemerintah pada 1982-1983 untuk ongkos angkut berjumlah US$ 2,6 milyar dan pada tahun anggaran berjalan diperkirakan mencapai hampir US$ 4 milyar. Tersisihnya devisa sebesar itu tentu tak akan terjadi jika pelayaran khusus sudah mempunyai cukup kapal curah. Tapi seorang pejabat Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) beranggapan bahwa pelayaran khusus tak perlu memaksakan diri menjala dolar dengan melakukan modifikasi kapal mereka. "Sebab, toh kapal itu bisa dimanfaatkan untuk mengangkut pupuk atau kayu lapis, atau dialihkan ke pengangkutan domestik," katanya. Pejabat bank ini memperkirakan, tak akan terjadi rebutan porsi jika armada itu dialihkan ke pelayaran dalam negeri, atau mengangkut muatan umum. Rusman Anwar, Direktur Utama PT Bahtera Adiguna, juga melihat jalan keluar seperti itu. "Kalau melihat perkembangan dunia usaha sekarang, rasanya kapal pelayaran khusus cukup cerah masa depannya," katanya. Tapi anggapan itu sendiri perlu diuji kebenarannya, mengingat pihak pelayaran nusantara sendiri sudah mengeluh setinggi langit. Maklum, susunan Trayek Pelayaran Nusantara 1984--1989 yang baru ternyata justru menyebabkan ertambahnya kekuatan armada dengan 70 kapal, yang bobot matinya 170.000 ton. Kalau pun pelayaran khusus ngotot mau melakukan modifikasi, buna untuk kredit investasi kini sudah mencapai 18,5% sampai 21%-sesudah sejak Juni 1983 turut likuiditas murah dari Bank Indonesia dicabut. Pada masa lalu Bapindo, misalnya, hanya mengenakan bunga 10,5% sampai 13.5% untuk kredit pengadaan kapal baru. Bank negara ini, sejak 1973 sampai Juni 1983, turut membiayai pembelian 151 kapal - yang 54 di antaranya merupakan kapal pengangkut kayu. Tingginya suku bunga itu menyebabkan banya pelayaran khusus berpikir dua kali untuk minta kredit. Bahkan Bahana sendiri masih belum menubruk kesempatan ketika belum lama ini utusan Hyundai Shipyard, Korea Selatan, datang kepadanya menawarkan kredit kapal berjangka 8-10 tahun dengan bunga hanya 9%. Pelayaran khusus ini beranggapan, masuknya kapal baru ke jajaran mereka hanya memberatkan kewajiban mencicil utang saja. Apalagi cicilan utang sembilan kapada perusahaan ini belum semuanya lunas. "Kalau harus beli juga, maka yang bekas pakai saja yang akan kami ambil," ujar Sapta Adji. Tapi bagi PT Kallog, persoalan seperti itu sudah tidak ada lagi Kendati ia hanya punya tiga kapal, yang masing-masing punya obot mati 6.000 ton, utang pembelian kapal itu sudah lunas semua. Pelayaran khusus ini tak perlu ribut melakukan modifikasi mengingat rekan usahanya, Daichi Chuo, Jepang, punya banyak muatan yang harus diangkut dari sini. Caranya: kapal Kallog bakal dipergunakan mengangkut kayu lapis dan kayu gergajian dari sini untuk ditimbun di Taiwan sebelum diteruskan ke AS. "Jadi, kami tak punya kapal yang menganggur," ujar Captain Parengkuan, Direktur Kallog.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus