PERUSAHAAN patungan Indonesia-Jepang, yang Oktober lalu diberitakan akan dibentuk, sekarang sudah jadi kenyataan. Nama perusahaan itu: Nippindo, khusus memasarkan kayu lapis Indonesia di Negeri Matahari Terbit. Tentang ini, Bob Hasan, selaku Ketua Umum Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo), berkata, "Kelak, perusahaan inilah yang akan menjamin dan memudahkan pemasaran kayu lapis Indonesia di Jepang." Sebagaimana lumrahnya perusahaan impor, Nippindo (kependekan dari Nippon Indonesia) membutuhkan modal kerja yang tidak sedikit. Menurut importir Kiyoshi Mazaki, Presdir Kanmatsu Shoji Co., untuk modal awal, dibutuhkan sekitar 10 juta dolar AS. Dari jumlah itu, 95% atau 9,5 juta dolar akan disediakan oleh eksportir kayu lapis Indonesia yang menjadi anggota Apkindo. Sedangkan sisanya (5%) akan ditanggung oleh Kanmatsu sendiri. Dikatakan oleh Mazaki, dengan modal itu, tiap bulan Nippindo akan mampu mengimpor sekitar 85 ribu meter kubik kayu lapis jenis concrete panel (kayu lapis untuk kebutuhan konstruksi). "Dan kami yakin, tahun depan angka ini akan naik sekitar 20% sampai 30%," ujarnya. Kenapa begitu optimistis? Konon, sudah banyak konsumen yang mengajukan permintaan. Tapi mungkinkah target ini tercapai ? Soalnya, banyak pengusaha di Jepang yang meragukan kemampuan Nippindo menembus pasar. Ditambah lagi, modal impor yang hanya 10 juta dolar, yang menurut seorang pejabat Sogo Sosha terlalu kecil. "Untuk bisa melakukan impor yang kontinu, Nippindo harus punya modal minimal 60 juta dolar," kata sumber tersebut. Kalau saja jumlah itu tidak terpenuhi dikhawatirkan Nippindo tidak akan mampu membuka L/C. Sinyalemen ini langsung dibantah oleh Masayuki Ito, Direktur Eksekutif Kanmatsu. "Dari dulu, Sogo Sosha sangat skeptis tentang perusahaan kami," ujarnya kesal. Padahal, dari tahun ke tahun, Kanmatsu berkembang cukup pesat. Dalam empat tahun lalu, perusahaan itu memperbesar omsetnya dari 3 milyar yen menjadi sekitar 25 milyar yen (Rp335 milyar). Itulah sebabnya, ketika Ito bertemu dengan eksekutif Sumitomo Bank (Kanmatsu memakai jasa bank ini), dan menyatakan bahwa ia perlu 20 juta dolar untuk sekali membuka L/C, permintaan ini tidak ditolak. Hal lain yang tak kurang pentingnya adalah kenyataan bahwa memasarkan concrete panel bukan hal yang sulit. Jenis kayu lapis ini sangat dibutuhkan oleh konsumen Jepang. Di negeri ini harga kayu lapis telah mencapai 230-240 dolar per kubik. Padahal, pertengahan bulan lalu, masih berada di antara 215 dan 220 dolar. Hanya saja, fungsi Nippindo sebagai sarana untuk meningkatkan pemasaran masih perlu dipertanyakan. Sebab, tanpa Nippindo pun, selama ini ekspor ke Jepang lancar-lancar saja. Padahal, telah beredar kabar, untuk membiayai Nippindo, setiap eksportir Indonesia diharuskan menanam investasi 400 ribu dolar. "Bukanlah jumlah yang kami persoalkan, tapi kegunaan Nippindo itu. Untuk apa?" ujar eksportir yang tak mau disebut namanya itu. Bob Hasan siap memberi penjelasan. Diakuinya, sebelum ada Nippindo, penjualan berjalan lancar, tapi harus melalui tangan kedua. Dengan kata lain, penjualan dilakukan melalui trading company-nya importir. Nah, dengan Nippindo, Bob menjamin, transaksi bisa dilakukan langsung. Apalagi yang jadi mitra usaha, Kanmatsu, merupakan pionir dalam bisnis kayu lapis (sejak 1973). Sehingga hampir seluruh daerah pasar yang potensial di Jepang, seperti Osaka, Nagoya, Yokohama, praktis sudah dikuasai oleh Nippindo. "Dengan cara ini, selain stabilitas harga bisa dijamin, pemasaran pun bisa dilakukan dengan lebih cepat dan efektif," kata Bob. Bagaimana dengan permodalan? Bob tidak khawatir. Nippindo akan menerbitkan saham yang bernominal 50 ribu dolar per lembar -- ini yang akan dijual pada anggota Apkindo. Di samping itu, "Bank-bank di Jepang pada antre untuk memberikan pinjaman pada kami," ujar Bob, yang kabarnya akan diangkat sebagai Presiden Komisaris Nippindo. Rekannya, Mazaki, akan menjadi Presiden Direktur. Budi Kusumah, Seiichi Okawa, Sidartha Pratidina, dan Linda Djalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini