Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Netflix dan Hooq Dianggap Bangkitkan Industri Film RI

Aprofi menyatakan kehadiran platform menonton film secara streaming seperti Netflix tidak membawa dampak negatif bagi industri perfilman Indonesia.

30 Maret 2019 | 12.39 WIB

Dari kiri: Billy Magnussen, Julia Garner, Emma Stone, Jonah Hill, Justin Theroux, dan Trudie Styler menghadiri premier miniseri Netflix, <i>Maniac</i>, di New York, Kamis, 20 September 2018. AP/Christopher Smith
Perbesar
Dari kiri: Billy Magnussen, Julia Garner, Emma Stone, Jonah Hill, Justin Theroux, dan Trudie Styler menghadiri premier miniseri Netflix, <i>Maniac</i>, di New York, Kamis, 20 September 2018. AP/Christopher Smith

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Menyambut Hari Film Nasional, Dewan Penasihat Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) Sheila Timothy menyatakan kehadiran platform menonton film secara streaming seperti Netflix tidak membawa dampak negatif bagi industri perfilman Indonesia.

Baca juga: Netflix Resmi Batalkan Kerja sama dengan Marvel

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Sebaliknya, layanan streaming seperti itu justru membuka harapan bagi pembuat film untuk memperluas distribusi produk mereka ke berbagai media. Jika sebelumnya tayangan film hanya mentok dipasarkan melalui bioskop dan televisi, maka saat ini produksi-produksi sineas Indonesia bisa juga ditawarkan ke platform film daring. “Berarti ada wadah penayangan baru di luar bioskop, tv,” ujar Sheila kepada Bisnis, Jumat, 29 Maret 2019.

Dia mengakui platform streaming film memang banyak memiliki serial produksi sendiri untuk ditawarkan ke penonton. Tetapi, hal itu tidak dianggapnya sebagai ancaman serius.

Sheila menganggap kehadiran layanan macam Netflix dan Hooq justru membangkitkan dunia perfilman karena mereka banyak membeli hak siar film-film produksi dalam negeri. Platform macam itu juga dipercaya bisa menggerus popularitas situs-situs penyedia film ilegal yang masih bisa diakses luas masyarakat melalui jaringan internet.

Menurut produser film Pintu Terlarang itu, pada era digital, produsen film justru mendapat tantangan dari munculnya medium baru pembajakan film. Jika sebelumnya banyak film yang dibajak dan dipasarkan melalui DVD, maka sekarang hasil pembajakan bisa diakses melalui sejumlah situs di internet.

“(Tantangan yang justru dihadapi di era digital) Lebih ke pembajakan film. (Platform film daring) Bukan tantangan, tapi peluang untuk makin berkembang. Dengan adanya platform legal, semoga [situs] yang ilegal bisa hilang,” tuturnya.

Pendapat sama juga dikemukakan Ketua Umum Badan Perfilman Indonesia (BPI) Chand Parwez. Dia mengatakan pelaku industri film nasional harusnya tak memandang kehadiran platform OTT film sebagai tantangan.

Platform semacam Netflix dan HOOQ disebutnya hanya bersifat pelengkap untuk para pencinta film. Itu artinya, kehadiran layanan streaming film tak bisa menggantikan posisi bioskop sebagai medium utama penyaluran film karya sineas dalam negeri.

“Itu dua dunia yang sangat berbeda. Beda treatment. Jadi, ada Netflix bukan berarti orang tak bisa ke bioskop. Orang ke bioskop belum tentu tak perlu buka internet dan menonton di platform yang ada. Saling melengkapi, kan disebutnya complementarybukan substitute,” papar Chand kepada Bisnis, 26 Maret 2019.

BISNIS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus