Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan atau OJK dalam waktu dekat akan merilis aturan pengganti POJK 77/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Aturan itu salah satunya akan mengatur tentang syarat permodalan platform teknologi finansial atau fintech pendanaan bersama alias peer-to-peer (P2P) lending.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dalam regulasi sebelumnya syarat mengambil izin fintech P2P lending hanya dengan modal disetor Rp 1 miliar. Namun dalam aturan terbaru perusahaan yang berminat bergabung ke dalam industri harus memiliki modal disetor minimal sebesar Rp 25 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B OJK Bambang W Budiawan menjelaskan alasan syarat permodalan yang besar untuk platform teknologi finansial pendanaan bersama alias peer-to-peer (P2P) lending anyar yang berminat mendapat perizinan tersebut. Modal jumbo itu diperlukan agar otoritas bisa menjaga industri tetap diisi pemain yang sehat.
Syarat permodalan itu, menurut Bambang, juga sudah merupakan hasil diskusi dengan berbagai pihak. OJK berpandangan bahwa hanya platform yang mencapai stabilitas keuangan internal saja yang bisa mengoperasikan layanan pendanaan bersama.
Di masa mendatang, kata Bambang, OJK tidak ingin lagi menemui platform yang masih membangun infrastruktur digitalnya dari utang. Sebab, bila perusahaan hanya sibuk mencari investor setelah mendapat izin, akhirnya tidak kuat memenuhi rasio kesehatan operasional dan memilih mundur.
Bambang menjelaskan, aturan modal ini berlaku untuk platform yang baru mendaftar (perizinan) setelah POJK ini resmi terbit. "Harapannya, industri fintech lending diisi pemain yang kokoh dan sustain. Kami mau reputasi fintech lending Indonesia menjadi tolok ukur bagi negara-negara lain," katanya, Senin, 31 Januari 2022.
Bagi 103 pemain yang sudah mendapat perizinan dan tengah beroperasi, tidak dibebankan ketentuan modal disetor jumbo. Meski begitu, perusahaan tetap harus memenuhi ketentuan ekuitas minimal yang baru.
Adapun ekuitas minimum yang dimaksud adalah sebesar Rp 12,5 miliar. Eluitas minimum itu dipenuhi secara bertahap selama 3 tahun sejak POJK baru tersebut resmi diundangkan.
Sementara itu, peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Thomas Dewaranu, mengkhawatirkan aturan modal disetor itu bakal melemahkan pertumbuhan dan menghambat inovasi.
Apalagi, kata dia, selama ini fintech melengkapi peran lembaga keuangan formal yang belum mampu menjangkau masyarakat secara luas. "Artinya, fintech membantu memperluas jangkauan layanan finansial, sehingga jangan sampai penambahan standar permodalan ini berdampak negatif pada inklusi keuangan," tuturnya.
Padahal, jika tujuan utama kenaikan modal minimum perusahaan fintech adalah untuk mengurangi risiko kegagalan, ia menilai otoritas harus mengkaji lebih dulu penyebab kegagalan itu. Karena selain modal, ada juga permasalahan risiko di penyaluran pinjaman.
"Sistem credit scoring di Indonesia belum cukup kuat dan komprehensif sehingga perusahaan P2P lending dan investor retail dihadapkan pada risiko yang besar ketika menyalurkan dana ke peminjam atau borrower," ucap Thomas.
Credit scoring adalah sistem yang digunakan untuk menilai kelayakan seseorang, seperti profilnya, riwayat pinjaman, tanggungan dan penghasilan, saat dia mengajukan pinjaman. Beberapa kriteria inilah yang akan mendapatkan penilaian apakah pengajuan pinjamannya layak atau tidak.
Selain itu ada trust issue dari peminjam juga harus diperhatikan. Beberapa platform P2P lending kesulitan mencari peminjam untuk menyalurkan dananya karena maraknya pemberitaan negatif tentang pinjaman online atau pinjol, sehingga beberapa konsumen cenderung enggan mengambil pinjaman secara online.
Lebih jauh, CIPS menilai pemerintah dan otoritas seharusnya berfokus mendukung pertumbuhan fintech lewat kebijakan yang menahan laju tingkat risiko kredit bermasalah dan mendukung perluasan akses kredit. Sebab, fintech berperan penting dalam percepatan inklusi keuangan.
Thomas menyebutkan, dalam hal fintech P2P lending juga perlu diperhatikan juga apakah investor retail dan peminjam sudah benar-benar mengerti tentang risiko atas kegiatan yang mereka ikuti. "Dalam hal ini, upaya untuk meningkatkan inklusi keuangan perlu diikuti oleh literasi keuangan yang memadai untuk mengurangi risiko gagal bayar," katanya.
BISNIS
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.