Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mendesak pemerintah buka suara soal pasal kontroversial dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Klausul dalam salah satu pasal itu dianggap berpotensi mengganggu industri pariwisata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padahal, Maulana berujar, pengusaha hotel masih berjuang mengembalikan sektor pariwisata yang dihantam pandemi Covid-19 sejak 2020. “Karena inilah yang sangat kita khawatirkan pariwisata itu harus clear juga image-nya dan segala macam itu harus clear,” tutur dia saat dihubungi pada Jumat, 9 Desember 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasal kontroversial yang dimaksud Maulana adalah larangan seks di luar nikah. Sanksi pidana bagi pasangan yang belum menikah melakukan check-in di hotel pun mengancam. Pengusaha menanti-nanti pemerintah memberikan keterangan resmi soal pasal-pasal yang dianggap bermasalah di KUHP baru sehingga tidak merugikan bisnis pariwisata secara berkepanjangan.
“Kami berharap pemerintah harus segera mengklarifikasi ini supaya tidak terlalu berpanjang-panjang. Karena kalau kayak gini kita sangat dirugikan ya industri pariwisata,” ucap Maulana
RKUHP resmi disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR yang digelar kemarin, Selasa, 6 Desember 2022. Dalam draf akhir RKUHP versi 30 November 2022, RKUHP terdiri atas 624 pasal dan 37 bab.
KUHP baru bakal resmi berlaku tiga tahun mendatang. Sejumlah elemen masyarakat sipil memberikan perhatian khusus atas pasal penghinaan presiden hingga peraturan ranah privat seperti kohabitasi atau seks di luar nikah. Pasal moral ini dianggap menjadi ancaman.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai KUHP berpotensi memperburuk iklim investasi di Indonesia. Menurut dia, pasal yang melarang seks di luar nikah bisa mengancam wisatawan asing, khususnya di bisnis perhotelan termasuk tempat wisata. “Seharusnya KUHP lebih sensitif mengatur ini,” kata dia.
Bhima menuturkan, jika pasal di KUHP tersebut dipaksanakan berlaku, wisatawan terutama yang datang dari negara barat, mulai Eropa, Amerika Serikat, hingga Australia, akan merasa terganggu. Sebab, aturan itu masuk terlalu jauh ke ranah privasi. “Perlu ada revisilah saya kira soal pasal itu,” ucap Bhima.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.