Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pemanis Bisnis Pasir Manis

Agar menarik minat investor baru membangun pabrik, pemerintah memberi kemudahan mengimpor gula mentah. Petani khawatir perusahaan tak serius menambah lahan tebu.

5 Juni 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA bulan sejak peraturan mengenai impor gula mentah terbit, Abdul Rochim bertambah sibuk. Direktur Industri Makanan, Hasil Laut, dan Perikanan ini berkali-kali harus menjelaskan tujuan di balik keluarnya Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 10 Tahun 2017 itu kepada sejumlah pihak, terutama petani.

Diteken pada Maret lalu, ketentuan ini menuai protes karena dianggap dapat membunuh perkebunan tebu rakyat. Tak sekadar melakukan sosialisasi, Rochim sampai meminta bantuan Wahyu Kuncoro, Deputi Industri Agro dan Farmasi--koleganya di Kementerian Badan Usaha Milik Negara--untuk membantu meyakinkan para petani. "Aturan ini tidak seperti dugaan teman-teman petani," kata Rochim saat ditemui pada Rabu pekan lalu. Dimintai konfirmasi secara terpisah, Wahyu membenarkan. "Ini WhatsAppnya masih ada."

Kementerian Perindustrian menyusun skema insentif bagi investor yang ingin membangun pabrik gula terintegrasi dengan kebun tebu. Regulasi mengenai impor gula kristal mentah ini merupakan aturan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana Industri yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada Januari 2017. Dengan insentif tersebut, pemerintah berharap minimal ada empat investor pabrik gula baru setiap tahun.

Dua skema utama disiapkan. Pertama, perpanjangan masa importasi gula mentah (raw sugar) yang semula hanya bisa dimasukkan saat uji coba pabrik pada tahun pertama. Kedua, pemerintah memberikan keringanan pajak untuk importasi permesinan.

Secara spesifik, aturan ini memungkinkan pemerintah memberikan rekomendasi berupa impor gula mentah kepada investor pabrik gula dalam periode waktu tertentu menurut wilayah. Untuk pabrik gula terintegrasi dengan kebun tebu yang berada di luar Pulau Jawa, rekomendasi impornya paling lama tujuh tahun. Bila berada di Jawa, pabrik gula bisa meminta kelonggaran impor gula mentah maksimal lima tahun. Bagi pabrik gula yang sudah berdiri dan berencana melakukan perluasan kebun, fasilitas impor bahan baku berupa gula mentah diberikan selama tiga tahun.

Dalam pertemuan dengan awak media pada pertengahan Mei lalu, Direktur Jenderal Industri Agro Panggah Susanto mengatakan insentif fiskal yang selama ini ditawarkan berupa tax holiday dan tax allowance kurang menarik minat investor. Pelaku usaha masih suka mengeluhkan sulitnya birokrasi dan insentif yang tidak sesuai dengan jumlah investasi yang dikeluarkan. "Maka hanya ada lima pabrik gula baru sejak 2009," kata Panggah.

Panggah mengatakan lambatnya penambahan pabrik gula baru bukan karena tak ada investor yang melirik. "Banyak pelaku usaha berminat," ujarnya. Persoalannya, pelaku industri kesulitan merealisasi rencananya lantaran mengalami kendala masalah lahan untuk mengembangkan kebun tebu sebagai pemasok bahan baku. "Karena itu, pemerintah membantu dengan pemberian bahan baku dulu," ujarnya.

Belakangan, ketentuan ini dipertanyakan para petani tebu. Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) berencana menggugat peraturan mengenai fasilitas impor gula mentah ini ke Mahkamah Agung. Soalnya, menurut Ketua Umum Dewan Pembina Dewan Pimpinan Pusat APTRI Arum Sabil, peraturan itu hanya kedok para pelaku usaha untuk mendapatkan izin impor gula. "Ini bukan kebijakan yang adil bagi petani," kata Arum pada Rabu pekan lalu. "Kebijakan ini hanya memenuhi permintaan pelaku usaha."

Tudingan itu merujuk pada ketentuan penyiapan lahan dalam aturan baru tersebut. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 10 Tahun 2017 menyebutkan, investor hanya perlu menyiapkan lahan tebu setidaknya 20 persen dari kapasitas terpasang jika ingin mengajukan fasilitas. "Ini memungkinkan industri mengimpor gula mentah dalam jangka waktu yang lama tanpa kepastian menambah lahan tebu."

Pabrik Gula Industri Nusantara (IGN) di Cepiring, Kendal, Jawa Tengah, menurut Arum, salah satu contohnya. Alih-alih menyerap tebu, IGN malah mengolah gula mentah. Pada 2010, misalnya, perusahaan ini mendapat izin impor gula mentah 50 ribu ton selama musim giling semester pertama. Arum juga menyebut Pabrik Gula Kebun Tebu Mas (KTM) di Jawa Timur yang tak kunjung menambah lahan padahal berjanji menggiling tebu. "Berdirinya pabrik gula seolah-olah sebagai tujuan mulia, tapi hanya kedok untuk mendapatkan impor gula mentah," katanya. Direktur Operasional KTM Agus Susanto menepis tudingan tersebut. Ia mengatakan kepemilikan lahan perusahaan sudah mencapai 60 persen dari kapasitas mesin 12 ribu ton tebu per hari.

Impor gula mentah memang tidak dilarang di Indonesia. Namun, Arum berpendapat, pengadaan "pasir manis" mentah dari luar ini tetap merujuk pada aturan yang berlaku. Berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527 Tahun 2004, disebutkan bahwa impor gula mentah hanya boleh dilakukan importir produsen. Gula mentah juga hanya bisa digunakan untuk keperluan produksi, yakni sebagai bahan baku gula rafinasi di industri makanan-minuman.

Persoalannya, menurut Arum, saat ini banyak pabrik gula yang menyalahi ketentuan itu. Kuota impor gula mentah dimanfaatkan untuk diolah menjadi gula kristal putih dan dijual untuk konsumsi rumah tangga. Padahal, menurut kajian APTRI, impor gula mentah untuk bahan baku seharusnya hanya bisa dilakukan jika pasokan tebu tidak cukup untuk mengisi kapasitas produksi pabrik. Persentasenya dibatasi hanya untuk mengisi idle capacity maksimal 20 persen.

Kementerian Pertanian juga sempat bertanya-tanya tentang beleid pelonggaran impor gula mentah ini. Direktur Jenderal Perkebunan Bambang mengatakan Kementerian Pertanian mengalami trauma. Soalnya, industri gula sebelumnya juga mendapat insentif serupa tapi tak kunjung merealisasi rencana pengadaan lahan tebu. "Tapi, setelah mendapat penjelasan dari Kementerian Perindustrian, ternyata ada syarat harus membangun lahan dan diaudit per tahun, dan itu tidak jadi masalah," kata Bambang, Kamis pekan lalu.

Panggah tak menampik anggapan bahwa pemanis untuk menarik investasi ini berangkat atas usul pengusaha. Tanpa menyebut nama perusahaan, menurut dia, Kementerian menerima sejumlah keluhan tentang kesulitan mendapatkan bahan baku lantaran keterbatasan lahan untuk menanam tebu. "Industri pabrik gula mengeluh kenapa mereka yang mengembangkan kebun tebu tidak mendapat fasilitas impor gula kristal mentah," kata Panggah.

Bukan hanya para investor yang sudah memiliki pabrik penggilingan, investor baru ikut mengadu. Rochim bercerita, sebuah perusahaan yang bergerak dalam industri ini sempat datang lantaran mendapat kesulitan membangun kebun tebu di Merauke, Papua.

Tanpa bantuan dari pemerintah, investor di Merauke itu mengaku serba salah. Sebab, jika membangun kebun dulu, ada kekhawatiran tebu hasil panen tidak terserap lantaran lokasi kebun yang jauh dari pabrik gula di Jawa. Sementara itu, jika investor membangun pabrik lebih dulu, kelak ada persoalan kekurangan pasokan bahan baku. "Mereka bertanya apakah bisa mendapatkan insentif. Sebab, membangun lahan tebu itu tidak cepat karena harus membuat bibit dulu," kata Rochim.

Meski memberikan kelonggaran impor bahan baku gula mentah, Rochim menjamin penambahan lahan akan terpenuhi. Rochim mengatakan ketentuan ini sudah memuat kewajiban perusahaan mengurangi porsi impor gula sesuai dengan penambahan porsi kapasitas penyerapan tebu. "Kami melibatkan auditor independen setiap tahun," ujarnya. "Bila tidak mencapai target, kuota impor bisa dikurangi atau sama sekali dihentikan pemberian izinnya."

Dalam wawancara dengan Tempo, Kamis tiga pekan lalu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto juga memastikan aturan ini tak mengakomodasi pengusaha tertentu. Tujuan utama pemerintah mengeluarkan regulasi ini semata-mata agar penambahan pabrik gula berjalan cepat. Kementerian Perindustrian memperkirakan konsumsi gula di dalam negeri terus bertambah. Dengan asumsi setiap tahun hanya ada pembangunan dua pabrik gula berbasis tebu dengan kapasitas 12 ribu ton tebu per hari (TCD), akan terjadi defisit gula 3,6 juta ton pada 2018.

Panggah Susanto menambahkan, asumsi tersebut dihitung dari produksi gula tahun depan, yang diprediksi hanya mencapai 2,9 juta ton. Sedangkan kebutuhan konsumsi dalam negeri mencapai 6,5 juta ton. "Bahkan pada 2030 impor gula masih akan terjadi sampai 3,8 juta ton," tutur Panggah. Perhitungan tersebut berasal dari selisih antara produksi yang diprediksi hanya 5,9 juta ton dari kebutuhan sekitar 9,8 juta ton.

Meski menuai protes, ketentuan ini dimanfaatkan sejumlah pelaku usaha pabrik gula. PT Gendhis Multi Manis (GMM), misalnya, telah mengajukan proposal kelonggaran impor bahan baku. Sekretaris Perusahaan Gendhis, Dody S. Soerachman, mengatakan kebijakan itu sangat membantu lantaran persoalan utama membangun pabrik gula selama ini adalah mencari lahan untuk kebun tebu. "Sewaktu take over, hanya 17 hektare kebun yang dimiliki GMM dan sepenuhnya kami mengandalkan tebu rakyat. Padahal ada pabrik gula lain juga di sekitar kami," ujarnya. Tahun lalu, 70 persen saham pabrik gula berkapasitas 6.000 ton tebu per hari ini diakuisisi Perum Bulog lantaran terjerat kredit macet Rp 885,4 miliar, plus tunggakan bunga Rp 61,6 miliar.

Hingga tenggat pengajuan proposal, akhir Mei lalu, ada tiga perusahaan selain Gendhis yang mengajukan permohonan keringanan impor bahan baku. Ketiga perusahaan tersebut adalah PT Kebun Tebu Mas, PT Sukses Mantap Sejahtera, dan PT Laju Perdana Indah. "Permintaannya beragam, tapi belum tentu mendapat persetujuan sesuai dengan proposal. Kami akan mengevaluasi dulu sesuai dengan neraca gula tahun ini," kata Rochim. Tahun ini pemerintah mengalokasikan impor gula mentah sebanyak 3,4 juta ton.

Ayu Primasandi, Khairul Anam


Pahit-Manis Impor Gula

SETIAP tahun, produksi gula nasional tak bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kebutuhan gula rumah tangga tahun ini menyentuh 3,02 juta ton. Padahal 48 pabrik gula berbasis tebu milik negara dan 17 milik swasta hanya mampu memproduksi 2,204 juta ton. Kekurangan itu terpaksa ditambal melalui impor gula mentah. Kejayaan industri gula di masa kolonial seperti tak tersisa.

Skema Insentif Impor Bahan Baku Gula

Perusahaan Baru
- Paling lama 7 tahun bila pabrik berada di luar Jawa
- Paling lama 5 tahun bila pabrik berada di Jawa

Pabrik Perluasan
- Paling lama tiga tahun sejak perluasan

Tahap Pengurangan Impor

Pabrik Baru di Pulau Jawa
Tahun pertama: bahan baku tebu paling sedikit 20 persen kapasitas giling, impor gula mentah untuk memenuhi 90 persen kapasitas produksi
Tahun kedua: bahan baku tebu minimal 35 persen kapasitas giling, impor gula mentah maksimal 82,5 persen kapasitas produksi
Tahun ketiga: bahan baku tebu minimal 50 persen kapasitas giling, impor gula mentah untuk memenuhi 75 persen kapasitas produksi
Tahun keempat: bahan baku tebu minimal 75 persen kapasitas giling, impor gula mentah untuk memenuhi 62,5 persen kapasitas produksi
Tahun kelima: bahan baku tebu minimal 90 persen kapasitas giling, impor gula mentah untuk memenuhi 55 persen kapasitas produksi.

Pabrik Perluasan
Tahun pertama: bahan baku tebu minimal 30 persen kapasitas giling perluasan, impor gula mentah untuk memenuhi 85 persen kapasitas produksi
Tahun kedua: bahan baku tebu minimal 60 persen kapasitas giling, impor gula mentah maksimal 70 persen kapasitas produksi
Tahun ketiga: bahan baku tebu minimal 90 persen kapasitas giling, impor gula mentah maksimal 65 persen dari kapasitas produksi

Kebutuhan Gula Nasional 2016
Gula konsumsi 3 juta ton
Gula rafinasi 3,2 juta ton
Total 6,2 juta ton

Produksi Gula Berbasis Tebu 2016
Produksi BUMN 1,23 juta ton
Produksi swasta 981 ribu ton
Total 2,204 juta ton

Luas Lahan Tebu 2016 (ribu hektare)
Jawa 272,9
Luar Jawa 167,6
Total 440,7

Tren Produksi dan Konsumsi Rumah Tangga plus Industri (juta ton)

2012
Produksi: 2,59
Konsumsi: 5,37
Defisit: -2,78

2013
Produksi: 2,55
Konsumsi: 5,72
Defisit: -3,17

2014
Produksi: 2,58
Konsumsi: 5,86
Defisit: -3,28

2015
Produksi: 2,50
Konsumsi: 5,82
Defisit: -3,32

2016
Produksi: 2,21
Konsumsi: 6,21
Defisit: -4

Produktivitas 2016
Produksi tebu 33,3 juta ton
Produktivitas rata-rata 75,6 ton/hektare
Rata-rata rendemen 6,62%
Rata-rata produktivitas gula 5 ton per hektare

Tren Produksi Gula BUMN vs Swasta (juta ton)

2012
BUMN 1,57
Swasta 1,02

2013
BUMN 1,54
Swasta 1,01

2014
BUMN 1,54
Swasta 1,01

2015
BUMN 1,45
Swasta 1,04

2016
BUMN 1,22
Swasta 0,99

Proyeksi Kebutuhan Gula Rumah Tangga

Tahun Konsumsi (kg/kapita)Pertumbuhan (%) Total Konsumsi Rumah Tangga (juta ton) Pertumbuhan
2017 5,72 -3,87 1,498 -2,68
2018 5,48-4,20 1,452 -3,05
20195,25 -4,20 1,406 -3,13
2020 5,02 -4,38 1,360 -3,28

Proyeksi Konsumsi Gula Langsung

Tahun Konsumsi (juta ton) Produksi (juta ton) Surflus/Defisit (ribu ton)
2017 2,926 2,713 -214
2018 2,837 2,743 -94
2019 2,752 2,773 21
2020 2,662 2,803 141

Naskah: Khairul Anam
Sumber: Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2002-2015 BPS, Kementerian Pertanian, PT Perkebunan Nasional (Holdings), Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Kementerian Perindustrian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus